Surabaya (11 April 2025) – Dalam upaya memperkuat kolaborasi-advokatif , Pimpinan Pusat
Muhammadiyah melalui Majelis Hukum dan HAM (MHH) dan Lembaga Hikmah dan
Kebijakan Publik (LHKP) menyelenggarakan Civil Society Organization (CSO) Gathering
regional Jawa Timur di Auditorium Universitas Muhammadiyah Surabaya, Kamis (11/4).
Acara bertema “Memperkuat Kolaborasi untuk Hak Asasi Manusia, Tata Kelola Sumber Daya
Alam, dan Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Berkelanjutan” ini menjadi wadah
konsolidasi bagi lebih dari 20 organisasi masyarakat sipil, akademisi, UPP di lingkungan
Muhammadiyah, Ortom, dan aktivis lingkungan lainnya dengan jumlah peserta aktif
sebanyak 38 peserta.
Sebelum agenda utama Gathering, pada pagi hari tanggal 10 April, Dr. H. M. Busyro
Muqoddas selaku Ketua PP Muhammadiyah didampingi LHKP PP Muhammadiyah dan MHH
PP Muhammadiyah melakukan kunjungan langsung ke lokasi konflik Proyek Strategis
Nasional (PSN) Surabaya Waterfront Land. Di sana, rombongan bertemu dan berdialog
langsung dengan warga terdampak yang tergabung dalam Forum Masyarakat Madani
Maritim (FM3).
Dalam perbincangan hangat namun penuh keprihatinan tersebut, masyarakat
menyampaikan keresahan mereka terhadap proyek yang dinilai tidak transparan, tidak
partisipatif, serta mengancam ruang hidup pesisir Surabaya. Dr. Busyro menyampaikan
bahwa kehadiran Muhammadiyah adalah untuk mendengarkan suara rakyat secara
langsung dan memperjuangkan keadilan bagi masyarakat kecil yang selama ini kerap
dikorbankan atas nama pembangunan.
Setelah kunjungan tersebut, rangkaian kegiatan dilanjutkan dengan Kuliah Bersama Rakyat
Pesisir Surabaya dan Panggung Rakyat bertajuk “Tolak PSN Surabaya Waterfront Land, Bukan
Untuk Rakyat”. Kegiatan ini menjadi panggung ekspresi masyarakat untuk menyuarakan
penolakan terhadap proyek yang dianggap merampas ruang hidup dan melanggar prinsip keadilan sosial. Dalam forum terbuka ini, berbagai elemen masyarakat sipil, akademisi, dan
aktivis menyatakan solidaritasnya serta menyerukan agar pemerintah menghentikan proyek
PSN yang bermasalah dan membuka ruang dialog yang sejati dengan warga terdampak.
Acara yang dibuka oleh Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya. Dalam sambutannya,
Rektor menegaskan, kolaborasi tripartit antara akademisi, civil society, dan pemerintah
menjadi kunci penyelesaian masalah struktural di Jawa Timur. Beliau memberikan aspirasi
pada CSO yang memilih jalan terjal advokasi langsung kepada Masyarakat. Muhammadiyah
juga memberikan dukungan nilai dalam teologi al-maun.
Dalam sesi pembuka yang penuh antusiasme, Dr. H. M. Busyro Muqoddas menyampaikan
analisis mendalam tentang dimensi ideologis pembangunan yang kerap terabaikan. Mantan
Ketua KPK ini menegaskan bahwa keadilan ekologis dan hak asasi manusia seharusnya
menjadi jiwa dari setiap proses pembangunan, bukan sekadar unsur tambahan yang bersifat
formalitas. “Pembangunan yang mengabaikan prinsip keadilan ekologis dan HAM pada
hakikatnya adalah pembangunan yang cacat sejak lahir,” tegasnya dengan nada serius.
Beliau mengkritik keras praktik pembangunan selama ini yang seringkali mengorbankan
lingkungan dan hak-hak dasar masyarakat demi kepentingan ekonomi semata. “Kita
menyaksikan bagaimana proyek-proyek infrastruktur besar dan eksploitasi sumber daya
alam justru menciptakan ketimpangan sosial baru dan kerusakan lingkungan permanen,”
paparnya sambil menunjukkan data-data lapangan. Dr. Busyro menekankan pentingnya
pendekatan pembangunan berkelanjutan yang benar-benar mempertimbangkan aspek
ekologi dan hak-hak masyarakat lokal, seraya mengutip prinsip-prinsip dasar konstitusi yang
menjamin hak atas lingkungan hidup yang sehat. “Ini bukan sekadar wacana, melainkan
imperatif konstitusional yang harus kita perjuangkan bersama,” tandasnya di hadapan
peserta yang menyimak dengan khidmat. Sesi ini menjadi fondasi penting bagi seluruh
diskusi selanjutnya, menegaskan komitmen kolektif untuk memperjuangkan model
pembangunan yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan di Jawa Timur.
Dalam paparan lanjutannya, David Efendi (Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah)
memperkuat analisis tersebut dengan memetakan tiga episentrum konflik sumber daya
alam di Jawa Timur yang menjadi fokus utama. Dengan data lapangan yang solid, ia
mengungkapkan: “Dari Trenggalek hingga Pakel, kebijakan ekstraktif yang tidak berpihak pada masyarakat terus mengorbankan warga lokal. Di Trenggalek, pertambangan emas
rakyat dihadang dengan dalih demi kesemalamatan lingkungan dan manusia. Di Sumenep,
proyek garam industri menggusur petambak tradisional. Hal yang sama juga terjadi di
Kenjeran, kota Surabaya. Dan yang memprihatinkan di Pakel Banyuwangi, dimana
masyarakat kehilangan akses terhadap agraria mereka tetapi ‘negara’ jurstru memberikan
untuk kepentingan korporasi.
David mempertanyakan narasi pembangunan yang diusung pemrakarsa proyek sering juah
panggang dari api: “Klaim bahwa proyek-proyek ini membawa kesejahteraan adalah ilusi.
Faktanya, di sekitar lokasi tambang Tumpang Pitu, angka kemiskinan justru meningkat 23%
dalam 3 tahun terakhir, sementara fasilitas kesehatan dan pendidikan tetap minim.” Ia juga
mengkritik keras pola perizinan yang tidak transparan dan partisipatif, dimana masyarakat
hanya dijadikan objek, bukan subjek pembangunan. Banyak kebijakan daerah cenderung
meminggirkan hak-hak masyarakat adat dan lokal dengan dalih investasi dan pembangunan.
Muhammadiyah sebagai kekuatan CSO memiliki track record dalam kerja kerja advoikasi
sejak kelahirannya. “setelah teologi al-maun, lalu neo-almaun untuk kelompok
termarjinalkan, kini Muhammadiyah berkiprah untuk zaman baru yaitu green al-maun—yaitu
kerja untuk mengantisipasi meluasnya kemiskinan dan kemeralatan baru akibat kerusakan
lingkungan yang disebabkan aktifitas ekonomi dan politik.”, pungkas David Efendi.
Trisno Raharjo, Ketua Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah, turut melengkapi
diskusi dengan analisis mendalam mengenai sejumlah kasus pelanggaran hak asasi
manusia yang dinilai strategis, termasuk di dalamnya praktik kriminalisasi terhadap para
aktivis serta berbagai bentuk pelanggaran hak yang dialami oleh masyarakat adat di berbagai
wilayah. Ia menyoroti bagaimana aparat dan kebijakan negara kerap kali tidak berpihak pada
kelompok rentan, sehingga menciptakan ketimpangan akses terhadap keadilan dan
perlindungan hukum. Dalam konteks ini, Trisno menegaskan bahwa salah satu akar
persoalan utama yang membuat masyarakat mudah dimanipulasi dan dirugikan adalah
rendahnya pemahaman hukum di tingkat akar rumput, yang menyebabkan mereka tidak
memiliki daya tawar maupun perlindungan ketika berhadapan dengan kekuasaan atau
kepentingan modal. “Pemahaman hukum yang rendah membuat masyarakat rentan
dimanfaatkan,” tegasnya, sambil mendorong agar agenda edukasi hukum dan pendampingan masyarakat menjadi prioritas bersama dalam memperkuat gerakan keadilan
sosial dan perlindungan HAM di Indonesia.
Pertemuan ini menghimpun kekuatan dari berbagai elemen masyarakat sipil yang memiliki
fokus kerja beragam namun saling melengkapi, di antaranya lembaga hak asasi manusia
seperti KontraS Surabaya, LBH Surabaya, dan Amnesty Unair; organisasi lingkungan seperti
Walhi Jawa Timur dan Forum Masyarakat Madani Maritim (FM3); kelompok akademik dan
mahasiswa seperti KIKA, BEM Unair, dan LKBH Universitas Muhammadiyah Sidoarjo;
organisasi berbasis komunitas seperti Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan
Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Surabaya; serta jaringan
internal Muhammadiyah seperti Majelis Hukum dan HAM (MHH) PWM Jawa Timur dan LHKP
PWM Jawa Timur, yang seluruhnya menunjukkan bahwa kolaborasi lintas sektor adalah kunci
dalam memperkuat gerakan advokasi untuk keadilan sosial dan lingkungan di tingkat daerah
maupun nasional.
“Keragaman peserta ini menunjukkan bahwa isu keadilan sosial, tata kelola sumber daya
alam dan lingkungan adalah tanggung jawab kolektif,” papar David Efendi.
Sebagai hasil konkret dari forum ini, para peserta merumuskan sepuluh butir-butir pemikiran
yang merepresentasikan komitmen bersama dalam mendorong transformasi kebijakan,
kolaborasi-advokatif, dalam rangka memperkuat peran masyarakat sipil khususnya di
regional Jawa Timur, yaitu antara lain:
- Pembaruan pemetaan konflik sebagai langkah strategis memperkuat koalisi
masyarakat sipil dan meningkatkan kesadaran atas dampak kebijakan politik
terhadap HAM dan lingkungan. - Penguatan agenda koalisi CSO untuk memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada
rakyat kecil, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. - Kolaborasi untuk mitigasi praktik mengundang bencana alam dalam perizinan
tambang yang merugikan masyarakat lokal di Jawa Timur. - Perlindungan kebebasan sipil dan akademik, khususnya dalam menghadapi
ancaman dari UU TNI/RUU POLRI yang berpotensi melegitimasi represi kepada
civitas akademica. - Reformulasi strategi gerakan masyarakat sipil demi penguatan demokrasi, supremasi
hukum, dan penegakan keadilan hukum dan Hak Asasi Manusia. - Kritik terhadap proyek pembangunan bermasalah yang berdalih “percepatan
pembangunan” namun justru merampas hak-hak Masyarakat lokal. - Membersamai warga yang mengupayakan ‘penolakan reklamasi’ dan perusakan
ruang hidup, serta mendorong kerja-kerja pemulihan ekosistem dan perlindungan
mata pencaharian Masyarakat terdampak. - Penguatan peran masyarakat sipil lintas sektor, termasuk kampus, NGO, dan ormas,
sebagai kekuatan utama dalam gerakan demokrasi dan pembaharuan sosial yang - Bekerjasama untuk mengkritisi dan mengvaluasi dan jika diperlukan melakukan
judicial review dan sejenisnya terhadap UU dan atau regulasi bermasalah yang
menjadi hambatan advokasi dan pintu masuk bagi beragam praktik penyalahgunaan - Kolaborasi antara kampus dan masyarakat sipil sebagai poros penting dalam
memperkuat dukungan terhadap agenda advokasi warga, advokasi kebijakan, dan
pemulihan demokrasi yang bermakna.
Melalui Civil Society Organization Gathering Jawa Timur 2025 ini, Muhammadiyah bersama
elemen masyarakat sipil menegaskan komitmennya untuk terus membangun solidaritas
lintas sektor dalam memperjuangkan keadilan sosial, perlindungan hak asasi manusia, serta
pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berpihak pada rakyat.