Penulis : Muhammad Al-Fatih (Internship)
Jakarta, 24 Juni 2025 – Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LHKP PPM) meyelenggarakan dikusi bersama para agamawan dan para pemerhati lingkungan. Agenda diskusi ini LHKP PPM bekerja sama dengan beberapa lembaga masyarakat, seperti Solidaritas Merauke, Pusaka Bentala Rakyat, dan Sajogyo Institute.
Dalam agenda ini LHKP PPM dengan kolaborator lainnya menghadirkan para pemateri lintas perspektif, seperti Franky Samperante dari Solidaritas Merauke, Yohanes Kristo Tara dari JPIC-OFM Indonesia atau Franciscans Office for justice, Peace, and Integrity of Creation Ordo Fratrum Minorum, Pendeta Johan Kristantara dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Dr. Didin Syafruddin dari PPIM UIN Jakarta, Gus Roy Murtadho selaku Pengasuh Ponpes Ekologi Misykat Al-Anwar Bogor, Dr. Bambang Widjojanto dari Majelis Hukum dan Ham PP Muhammadiyah, dan Hening Parlan dari Pimpinan Pusat Aisyiyah.
Dalam Keynote Speech yang disampaikan oleh Busyro Muqoddas selaku Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Hikmah beliau menyampaikan bahwa kami merasa bahwa kami di PP Muhammadiyah merasa memiliki tanggung jawab yang tinggi terhadap Masyarakat. Hal tersebut disampaikan dengan melihat realitas hari ini yang semakin tergerus dalam kerusakan lingkungan yang perlahan di normalisasikan.
Kami tidak ingin pemerintah melakukan tindakan yang semenah-menah terhadap lingkungan, lanjutnya. Maka oleh karenanya dalam menindak lanjuti hal tersebut kami melakukan kajian-kajian akademik dalam melihat dampak dari pada praktek kerusakan yang dilakukan oleh pemerintah. Tentu dalam mengawal setiap praktek ini kami di PP Muhammadiyah tidak bisa berjalan sendiri, kami membutuhkan partisipasi masyarakat banyak, agamawan dan NGO dengan basis risetnya.
Dalam Keynote Speechnya Busyro Muqoddas juga menyampaikan bahwa, Fungsi agama besar itu adalah gerakan profetik yang berpilar kepada kemerdekaan yang bersifat liberasi, humanisasi, dan transendensi. karena PSN itu bertentangan dengan alinea satu UUD 1945, sudah saatnya harus dipertimbangkan oleh semua pihak secara serius dan substantif. Agama hadir di kemanusiaan ini untuk menjadikan negara menjadi santun dalam bertindak.
Kemudian Franky Samperante dari solidaritas merauke aliansi masyarakat sipil dan adat merauke yang terdampak PSN menyampaikan bahwa, dalam dokumen dan penjelasaan dari pemerintah Kementrian pertahanan, pertanian dan investasi dijelaskan bahwa akan ada proyek pengembangan pangan dan energi seluas 2,2jt hektar di wilayah merauke, secara administratif itu hampir separuh dari wilayah merauke. Apa yang kemudia disampaikan oleh Franky diatas setidaknya kita dapat membayangkan bencana ekologi dan sosial dari proyek tersebut.
Selanjutnya dalam paparan dan perspektif lainnya Yohanes Kristo Tara memaparkan, bahwa krisis ekologi merupakan sebuah fakta, kendati demikian masih ada kelompok-kelompok yang menyatakan bahwa krisis ini adalah sebuah hoax. Padahal sangat jelas kita melihat keadaan alam kita semakin kritis, iklim kita pada tahun 2024 mengalami puncak suhu yang terpanas. Hal ini dapat terjadi karena tindakan manusia, dan yang paling menderita akibat semua ini adalah orang- orang miskin.
Menanggapi hal ini, Yohanes Kristo Tara menyampaikan sebuah solusi dari sudut pandang JPIC-OFM Indonesia, yakni mengajak kita untuk mengambil arah baru: pertobatan ekologis sebagai arah Gereja, khususnya bagi Ummat Katolik. Maksud dari pertobatan ekologis ini adalah kesadaran bahwa manusia kerap melakukan dosa, termasuk dosa terhadap alam. Oleh karena itu, kita perlu melakukan pertobatan bukan hanya atas dosa-dosa pribadi, tetapi juga atas kerusakan alam yang telah kita sebabkan. Pertobatan ekologis ini sejatinya ada dalam semua ajaran agama, sebagai bentuk tanggung jawab spiritual atas kondisi lingkungan yang kian rusak.
Gus Roy Murtadho salah satu pengasuh di Pondok Pesantren Al-Anwar yang merupakan agamawan dengan pandangan Nadhatul Ulama juga memaparkan pandangan terkait kondisi lingkungan yang hari ini semakin rusak. Kata Allah jangan bongkar-bongkar apa yang Allah sudah tata di muka bumi, maka pasti pelakunya manusia. Kerusakan yang ada dimuka bumi, tidak hanya di Merauke tapi diseluruh muka bumi maka pasti pelakunya manusia, terangnya.
Secara spesifik, menurut Gus Roy, manusia yang dimaksud dalam konteks pertobatan ekologis adalah para pemilik modal. Mereka yang memiliki kekuatan modal besar kerap melakukan perusakan lingkungan secara brutal. Lebih miris lagi, tindakan tersebut justru difasilitasi oleh negara, sehingga memperparah kerusakan yang terjadi.
Pandangan lain juga muncul dalam kisah yang disampaikan oleh Pendeta Johan Kristantra dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Ia mengingatkan bahwa dalam bagian awal Injil, terdapat sosok Yohanes Pembaptis yang muncul bukan dari istana, melainkan dari padang gurun. Kehadirannya menjadi simbol perlawanan terhadap kondisi masyarakat Yahudi saat itu, yang hidup dalam kegelapan spiritual. Ketaatan agama hanya bersifat formalistik dan tidak diiringi dengan tindakan nyata untuk kebaikan sesama. Melalui seruan pertobatannya, Yohanes mengajak masyarakat untuk melakukan perubahan yang bermakna—yakni pertobatan yang nyata dalam tindakan kasih kepada sesama dan kepedulian terhadap kehidupan.
Lebih lanjut Pendeta Yohan menyampaikan, kami menolak teologi yang antroposentris terhadap alam, kami menolak teologi bahwa manusia adalah pusat alam. Alih- alih manusia sebagai pusat alam, kami berpandangan bahwa manusia bukan pusat atau pemilik mutlak bagi alam, manusia ini adalah bagian dari alam yang harus berbagai kehidupan dengan makhluk lain untuk menciptakan keseimbangan ekologis demi keberlangsungan kehidupan semua makhluk.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaian oleh Pendeta Johan, Hening Parlan selaku Ketua Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana Pimpinan Pusat Aisyiyah juga menyampaikan pendapatnya. Jika kita bicara soal Tuhan dan soal iman, maka dialog-dialog tidak cukup, yang terpenting adalah menghadirkan keimanan sebagai bagian dari eksistensi hidup. Urusan kita dengan Tuhan itu terefleksikan di kehidupan sehari- hari. Banyak orang- orang yang memisahkan keimanannya dengan kondisi fakta yang ada di sekitar, paparnya.
Kalau mau berjuang satu-satunya jalan adalah bersatu dengan kelompok-kelompok yang mengaku punya agama. Karena kalau bergaul dengan kelompok-kelompok kapitalis kita tidak akan dirangkul. Gerakan kita bukan hanya eko-sosiologi tapi juga eko-jihad. kita jihad menyelamatkan Masyarakat-masyarakat yang membutuhkan dan terpinggirkan. Kadang refleksi ekologis tidak terefleksikan dalam perilaku nyata, beriman kok egois tegasnya.
Narasumber terakhir Akademisi dari PPIM UIN Jakarta Dr. Didin Syafruddin menyampaikan bahwa pihak mereka telah mekakukan survey nasional, dan banyak masyarakat yang melihat fenomena- fenomena alam ini sebagai bagian dari suatu yang wajar sehingga kita tidak perlu bertindak apa-apa. Masyarakat Indonesia masih banyak yang berpandangan antroposentrisme bahwa penggundulan hutan ini memang untuk manusia.
Didin juga menyampaikan bahwa, mereka menemukan di tengah banyaknya isu sampah, energi dan deforestasi kita bisa lihat bahwa masyarakat lebih peduli hanya dengan isu sampah (isu yang mereka hadapi sehari- hari). Kepedulian bukan pada lingkungan secara keseluruhan tapi hanya pada isu- isu sampah. Tantangan-tantangan ini yang perlu direspon. Tantangan kedepan adalah bagaimana kita bisa menyasar kalangan terpelajar di kampus- kampus.
Diskusi lintas agama dan lembaga yang diselenggarakan oleh LHKP PP Muhammadiyah menunjukkan bahwa krisis ekologi saat ini bukan hanya persoalan teknis atau ilmiah, tetapi merupakan persoalan moral, spiritual, dan struktural. Para tokoh agama, akademisi, dan aktivis lingkungan yang hadir sepakat bahwa penyebab utama kerusakan lingkungan adalah keserakahan manusia, terutama para pemilik modal besar yang difasilitasi oleh negara melalui berbagai proyek yang mengorbankan alam dan masyarakat lokal. Oleh karena itu, solusi atas krisis ini harus berangkat dari kesadaran kolektif dan pertobatan ekologis lintas iman, dengan pendekatan profetik, spiritual, dan berbasis pada keadilan sosial.