Penulis : Ika Rahmadyta Aulia (Internship)
Yogyakarta, Jumat, 28 Maret 2025 — Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP PPM) menggelar diskusi publik bertajuk “Pertamax Oplosan, Korupsi, dan Kerugian Ekonomi Rakyat”. Acara yang berlangsung secara daring ini dimulai pukul 15.00 WIB dan dihadiri oleh berbagai tokoh dari kalangan akademisi, praktisi, serta masyarakat sipil yang concern terhadap isu transparansi dan keadilan dalam distribusi energi.
Diskusi dibuka oleh M. Busyro Muqoddas, selaku Ketua PP Muhammadiyah, yang menekankan pentingnya peran masyarakat sipil dalam mengawal kebijakan publik, khususnya di sektor energi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Selain itu, “Kerugian yang disebabkan oleh Pertamina ini dapat disimpulkan sebagai kejahatan politik dari pejabat politik dan unsur swasta. Multidispliner ilmu juga penting untuk perbaikan negara, pasal 98 dan pasal 99 KUHAP yang memberikan penggabungan antara perkara pidana dan perdata. Tidak hanya hal itu, kejaksaan bisa menerapkan gabungan gugatan perdata melalui class action untuk menuntut kerugian korupsi dari Pertamina Parta Niaga” Ungkap M. Busyro Muqoddas.
Dalam diskusi kali ini, menghadirkan beberapa narasumber yang turut menyampaikan pandangannya secara kritis dan mendalam.
Bhima Yudhistria Adhinegara, Peneliti dari Celios, mengungkapkan bahwa praktik oplosan pada BBM jenis Pertamax telah menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat. Berdasarkan temuan Celios, sekitar 86,4% pengguna Pertamax mengalami kerugian akibat kualitas bahan bakar yang tidak sebanding dengan harga yang dibayar. Ia menyarankan agar masyarakat mempertimbangkan gugatan class action sebagai bentuk penegakan keadilan. Bhima juga menekankan pentingnya reformasi tata kelola distribusi energi, termasuk peningkatan transparansi dan pengawasan yang lebih ketat.
Sementara itu, Zaenurrochman dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM, memaparkan adanya indikasi manipulasi dalam pengadaan minyak oleh Pertamina Patra Niaga. Salah satunya adalah penolakan terhadap pasokan minyak dalam negeri yang kemudian diganti dengan impor berbiaya tinggi, melalui praktik mark-up harga. Ia mendorong agar penegakan hukum tidak hanya fokus pada pidana, tetapi juga mengembangkan gugatan perdata guna memulihkan kerugian negara yang diperkirakan mencapai triliunan rupiah.
Dari internal Muhammadiyah itu sendiri juga menyoroti perlunya advokasi kebijakan publik yang lebih berpihak kepada rakyat. Hal ini disampaikan oleh Akbar Susamto sebagai perwakilan dari LHKP PP Muhammadiyah. Beliau juga mengajak masyarakat sipil untuk lebih aktif dalam proses perumusan kebijakan serta menuntut adanya akuntabilitas dalam pengelolaan sektor energi.
Tidak hanya dari kalangan laki-laki saja, perspektif dari perempuan juga turut dihadirkan untuk melihat hal ini. Isu dampak sosial turut diangkat oleh Wasingatu Zakiyah dari Forum Cik Di Tiro. Ia menjelaskan bahwa perempuan menjadi salah satu pihak paling terdampak dalam kasus korupsi di sektor energi, baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Dengan meningkatnya jumlah pengendara perempuan, ia menggarisbawahi pentingnya perlindungan konsumen dan partisipasi perempuan dalam pengawasan distribusi energi.
Diskusi yang dipandu oleh praktisi bisnis sekaligus anggota LHKP PPM, M. Dzulfikar, berlangsung dalam suasana santai namun tetap serius. Para narasumber membagikan data, analisis, dan pengalaman lapangan terkait maraknya kasus Pertamax oplosan dan lemahnya pengawasan dalam distribusi BBM. Sehingga pada diskusi kali ini mendapatkan hasil bahwa perlunya melakukan audit menyeluruh terhadap praktik oplosan BBM, menguatkan lembaga pengawas agar bisa menjamin distribusi energi yang adil dan transparan, melibatkan masyarakat agar lebih aktif dalam melaporkan kendala sehingga dapat mendorong perubahan kebijakan, serta perlunya untuk mengedukasi publik mengenai hak-hak mereka sebagai konsumen di sektor energi yang harus ditingkatkan.
Oleh karenanya, dengan dilakukannya diskusi ini diharapkan menjadi awal dari gerakan kolektif untuk membongkar praktik curang dan korupsi di sektor energi serta mendorong perbaikan kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat.