Yogyakarta, 17 Juli 2025 — Kebebasan berpendapat kembali menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat setelah salah satu aktivis pro-demokrasi, Neni Nur Hayati, mendapat serangan digital yang dilakukan oleh akun Instagram yang mengatasnamakan Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Serangan tersebut muncul sebagai respons atas video kritis yang diposting oleh Neni di akun TikTok pribadinya pada 5 Mei 2025, yang kemudian ditanggapi oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, melalui sebuah video yang diunggah pada 16 Juli 2025.
Dalam menghadapi situasi ini, suara dukungan datang dari kalangan akademisi. Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, MA — Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sekaligus Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah — secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap Neni Nur Hayati.
Dalam pernyataan tertulisnya, Dr. Ridho menegaskan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu fondasi utama dalam sistem demokrasi. Ia menyatakan bahwa tanpa kebebasan tersebut, demokrasi akan kehilangan maknanya dan bisa terancam mati.
“Tanpa adanya kebebasan berpendapat, maka demokrasi akan mati. Karena itu, siapapun mereka dan apapun posisinya harus menghormati kebebasan berpendapat,” tegas Ridho.
Ia juga menilai bahwa keberanian Neni dalam mengkritik pejabat publik bukanlah sesuatu yang patut diserang, melainkan dihargai. Kritik, menurutnya, adalah cerminan kepedulian terhadap kondisi negeri — ibarat jamu yang pahit namun menyehatkan. Kritik tidak seharusnya dipandang sebagai bentuk kebencian, tetapi sebagai upaya membangun dan menjaga arah bangsa tetap di jalur yang benar.
Sebagai akademisi yang telah lama berkecimpung dalam riset tentang pemilu, partai politik, dan dinamika demokrasi di Indonesia, Dr. Ridho menyampaikan bahwa dunia politik memang tidak lepas dari pencitraan. Oleh karena itu, masyarakat harus terbiasa dengan keberadaan suara-suara kritis sebagai bagian dari proses demokratisasi yang sehat.
“Siapapun pejabat dan politisi yang muncul di layar tivi dan media sosial itu pasti mengandung unsur pencitraan yang dapat mengangkat posisinya,” ujar Ridho. “Karena itu, Neni sudah melakukan tugasnya dengan baik sebagai warga negara yang kritis terhadap perilaku dan kebijakan para pejabat dan politisi di republik ini.”
Namun demikian, ia sangat menyayangkan munculnya berbagai komentar negatif dan pembunuhan karakter terhadap Neni di berbagai platform media sosial, termasuk Instagram dan TikTok. Ridho menilai fenomena ini sebagai gejala berbahaya yang justru menghambat kemajuan demokrasi di Indonesia.
“Saya sangat menyayangkan berbagai akun media sosial yang terus memojokkan aktivis-aktivis kritis, termasuk Neni Nur Hayati. Ini bukan hanya serangan personal, tetapi juga serangan terhadap semangat demokrasi itu sendiri.”
Sebagai bagian dari komitmen terhadap kebebasan akademik dan demokrasi, Dr. Ridho menyampaikan dukungan penuh terhadap langkah-langkah kritis Neni Nur Hayati. Ia juga menyerukan kepada semua pihak, termasuk pejabat publik, agar tidak mudah tersinggung terhadap kritik, melainkan menjadikannya sebagai cermin untuk memperbaiki kinerja dan kebijakan.
“Mari kita biasakan kritik menjadi bagian dari proses membangun negeri ini menjadi negara yang benar-benar demokratis. Hormati warga negara yang kritis, bukan justru menyerang karakter seseorang karena merasa berbeda pendapat.”
Pernyataan ini diakhiri dengan salam demokrasi yang sehat dari Ridho Al-Hamdi, sebagai refleksi dari harapan akan tumbuhnya ruang publik yang terbuka, inklusif, dan toleran terhadap kritik dan perbedaan pandangan