Penulis: Denting Azzahra P (Internship)
Pracimantoro, 21 Mei 2025 — Dalam forum Bedah AMDAL yang diselenggarakan pada 21 Mei 2025 di Kecamatan Pracimantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah turut hadir bersama dengan berbagai elemen masyarakat sipil, aktivis lingkungan dan juga warga terdampak. Diskusi ini diinisiasi oleh warga Kecamatan Pracimantoro sendiri yang tergabung dalam sebuah paguyuban bernama Talijiwo. Pada pertemuan ini, diskusi difokuskan pada pendalaman dan refleksi mengenai proyek pembangunan pabrik semen di wilayah yang selama ini dikenal memiliki ketahanan pangan yang kuat dan tatanan sosial budaya yang lestari.
Refleksi Sosial Budaya dan Ancaman Disintegrasi Sosial
David Efendi selaku perwakilan dari LHKP PP Muhammadiyah mengingatkan pentingnya menimbang ulang arah kebijakan pembangunan, terlebih saat proyek-proyek besar seperti pembangunan pabrik semen mengandung potensi memecah belah warga. Menurutnya, isu kompensasi yang sering dipromosikan sebagai win-win solution dapat menjadi jebakan baru dalam skema ketimpangan dan fragmentasi sosial.
“Bagaimana kompensasi itu bisa memecah belah warga, ormas, dan juga solidaritas? Ini ujian bagi banyak pihak. Kompensasi dianggap sebagai solusi, padahal dampaknya bisa sangat kompleks,” ujar David.
Ia juga menyinggung potensi politisasi melalui “money politic” dan pentingnya kelompok keagamaan mengambil peran aktif dalam membangun pemahaman kritis dan kolektif warga. Muhammadiyah, lanjutnya, siap berkontribusi melalui forum-forum belajar dan riset strategis yang mengangkat dimensi saintifik maupun nilai-nilai keadilan ekologis.
“Kalau ada amal usaha Muhammadiyah atau kampus di sekitar sini, kami siap membantu riset dan kajian strategis atas proyek ini. Forum belajar warga bisa menjadi ruang kolaborasi memperkuat sikap organisasi keagamaan dalam membela kepentingan masyarakat dan lingkungan,” tambahnya.
Suara Warga: “Kami Sudah Makmur, Jangan Dikriminalisasi”
Pernyataan yang tak kalah menggugah datang dari Jumadi, seorang petani asal Dusun Nglancing. Ia menyampaikan keresahan warga dusun yang selama ini telah hidup sejahtera dari sektor pertanian, namun kini terancam oleh pembangunan yang menurutnya sarat manipulasi dan ketimpangan informasi.
“Warga sebenarnya sudah nyaman, sudah berkecukupan dari hasil pertanian. Saya tidak rela kalau ada argumen yang menjatuhkan atau tidak sesuai fakta. Katanya tanah di sini hutan telantar, padahal justru produktif!” tegas Jumadi.
Ia juga menyinggung fenomena jual-beli lahan yang bermula dari ketidaktahuan warga dan manipulasi informasi, serta membantah klaim bahwa masyarakat mengalami kemiskinan atau keterbelakangan ekonomi. Bagi Jumadi, pembangunan yang meminggirkan fakta lokal dan pengetahuan petani merupakan bentuk ketidakadilan yang nyata.
“Saya hanya petani biasa, tapi saya tahu tanah ini. Petani di sini sudah makmur dan sudah sejahtera. Jangan jadikan kami korban dari narasi yang tidak sesuai kenyataan.”
LHKP PP Muhammadiyah melihat urgensi untuk memperkuat ruang-ruang dialog, riset partisipatif, dan solidaritas lintas sektor demi memastikan bahwa pembangunan benar-benar berpihak pada keadilan ekologis dan keberlanjutan sosial. Dalam konteks Pracimantoro, suara warga dan keberpihakan etis dari organisasi keagamaan perlu ditempatkan sebagai fondasi dalam merumuskan masa depan yang adil dan berkelanjutan.