Penulis : Ifanul Abidin
Proyek Bendungan Nipah di Kabupaten Sampang, Madura, menjadi studi kasus menarik yang mengungkap relasi kuasa dalam politik ekologi Indonesia. Pembangunan infrastruktur strategis ini telah melalui perjalanan panjang dan berliku sejak pertama kali direncanakan tahun 1983, penyelesaian fisik tahun 2008, hingga penyelesaian masalah pembebasan lahan tahun 2015 (Kementerian PUPR, 2025). Pemerintah secara konsisten menjadikan proyek ini sebagai bagian dari program strategis nasional dengan mengedepankan klaim manfaat besar, terutama dalam hal pengairan 1.150 hektar sawah dan dukungan terhadap ketahanan pangan nasional. Namun, di balik narasi pembangunan yang megah tersebut, tersembunyi konflik multidimensi yang melibatkan tiga aktor utama: negara dengan kekuasaannya, pemodal dengan kepentingan ekonominya, dan masyarakat lokal dengan hak-hak tradisionalnya (Mojok, 2024).
Politik ekologi dalam kasus ini secara terang mengungkap bagaimana negara menggunakan berbagai instrumen kekuasaannya untuk mengontrol dan mengalokasikan sumber daya alam, sementara di sisi lain masyarakat berjuang mati-matian mempertahankan hak atas ruang hidup mereka yang telah turun-temurun. Tulisan ini akan menganalisis secara kritis tiga aspek utama yang saling berkaitan: (1) peran negara dalam proses kapitalisasi lahan, (2) dinamika resistensi masyarakat lokal, dan (3) implikasi ekologis jangka panjang dari pembangunan bendungan ini. Analisis ini penting untuk memahami bagaimana relasi kuasa bekerja dalam proyek-proyek infrastruktur besar di Indonesia.
Pembangunan Bendungan Nipah tidak bisa dilepaskan dari logika pembangunanisme (developmentalism) yang menjadi paradigma dominan dalam kebijakan negara. Proyek ini mendapatkan legitimasi kuat melalui wacana ketahanan pangan dan pembangunan infrastruktur strategis, seperti yang terus-menerus ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan. Dengan anggaran mencapai Rp 227,5 miliar, negara tidak hanya berperan sebagai regulator tetapi sekaligus menjadi aktor utama dalam proses transformasi ruang secara besar-besaran.
Negara menggunakan berbagai instrumen kekuasaannya secara sistematis dalam proses ini. Mulai dari pendekatan birokratis melalui peraturan daerah dan kebijakan pusat, hingga intervensi langsung dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat sebagai mediator. Namun sayangnya, pendekatan ini seringkali bersifat top-down dan cenderung mengabaikan aspirasi riil masyarakat lokal yang sebenarnya merupakan pemilik sah dari lahan tersebut selama puluhan tahun. Yang lebih memprihatinkan, proses pembebasan lahan seringkali diwarnai dengan praktik-praktik pemaksaan dan intimidasi halus terhadap warga yang enggan melepaskan tanahnya.
Dinamika Resistensi Masyarakat
Resistensi masyarakat Sampang terhadap proyek Bendungan Nipah telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang, tepatnya sejak tahun 1993. Penolakan ini muncul dari beberapa faktor kunci yang saling berkaitan. Pertama, ketidakjelasan skema ganti rugi dan mekanisme relokasi bagi masyarakat yang lahannya terkena proyek. Kedua, minimnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan sejak tahap perencanaan. Ketiga, ketidakpercayaan terhadap janji-janji pemerintah mengenai manfaat proyek ini bagi masyarakat setempat (Antara Jatim, 2016).
Yang menarik dan patut dicatat, perlawanan masyarakat tidak hanya bersifat ekonomi semata tetapi juga memiliki dimensi kultural yang kuat. Tokoh agama dan ulama setempat memainkan peran sentral dalam mengorganisir resistensi secara efektif. Mereka tidak hanya menjadi mediator antara masyarakat dan pemerintah, tetapi juga memberikan legitimasi religius dan moral terhadap perjuangan masyarakat mempertahankan tanah leluhur mereka. Dalam banyak kasus, masjid dan majelis taklim menjadi pusat pengorganisiran perlawanan terhadap proyek ini (Republika, 2014).
Strategi resistensi masyarakat berkembang secara dinamis dari waktu ke waktu. Pada fase awal bersifat pasif melalui penolakan memberikan tanda tangan persetujuan, kemudian berkembang menjadi aksi protes terbuka dan unjuk rasa besar-besaran. Di era digital ini, masyarakat juga semakin cerdas memanfaatkan media sosial dan platform online untuk menyuarakan tuntutan mereka secara lebih luas. Sayangnya, respons pemerintah terhadap resistensi ini cenderung reaktif dan bersifat tambal sulam, seperti sekadar meningkatkan nominal ganti rugi atau menjanjikan program kompensasi yang seringkali tidak kunjung terealisasi.
Implikasi Ekologis dan Politik Lingkungan
Pembangunan Bendungan Nipah membawa dampak ekologis yang kompleks dan multidimensi. Di satu sisi, pemerintah dengan gencar mengklaim proyek ini akan mendukung konservasi air dan menjaga 30% ruang terbuka hijau sebagaimana diamanatkan dalam berbagai regulasi lingkungan (Jatim Prov, 2016). Namun di sisi lain, pembangunan bendungan secara nyata telah mengubah ekosistem lokal secara permanen dan berdampak pada terganggunya siklus hidrologi alami di wilayah tersebut.
Politik lingkungan dalam kasus ini secara jelas menunjukkan bagaimana wacana keberlanjutan dan pelestarian lingkungan digunakan secara strategis untuk melegitimasi proyek-proyek besar. Analisis politik ekologi mengungkap bahwa yang terjadi sebenarnya adalah ekstraksi sumber daya alam skala besar yang didukung penuh oleh aparat negara. Masyarakat lokal, yang seharusnya menjadi subjek utama pembangunan, justru seringkali menjadi korban pertama dari proses ini. Dampak ekologis jangka panjang seperti perubahan pola aliran air, erosi tanah, dan hilangnya keanekaragaman hayati menjadi ancaman serius yang belum mendapatkan perhatian memadai dari para pengambil kebijakan.
Kasus Bendungan Nipah secara tegas mengungkap wajah pembangunan Indonesia yang sarat kontradiksi dan ketimpangan. Di satu sisi, negara dengan segala kekuasaannya berupaya mendorong agenda modernisasi melalui pembangunan infrastruktur besar. Namun di sisi lain, masyarakat lokal harus menanggung beban sosial, ekonomi, dan ekologis yang tidak sebanding dengan manfaat yang mereka terima.
Konflik sosial-ekologis Bendungan Nipah tidak muncul dalam ruang hampa historis. Kasus ini merepresentasikan pola berulang yang telah terlebih dahulu termanifestasi dalam pembangunan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah pada tiga dekade sebelumnya. Analisis komparatif mengungkapkan kesamaan struktural antara kedua kasus, khususnya dalam tiga dimensi kritis: (1) penerapan paradigma pembangunanisme yang bersifat top-down, (2) mekanisme kompensasi lahan yang tidak memenuhi prinsip keadilan distributif, dan (3) munculnya resistensi masyarakat yang berbasis pada nilai-nilai kultural.
Aspek Konflik | Bendungan Nipah | Waduk Kedung Ombo | Persamaan Utama |
1. Pola Pembangunan | Proyek strategis nasional untuk irigasi 1.150 Ha sawah | Proyek nasional untuk irigasi 61.000 Ha sawah | Keduanya menggunakan narasi “kepentingan nasional” dan pembangunanisme top-down |
2. Mekanisme Pengambilan Lahan | Pembebasan lahan tersendat hingga 2015, penolakan warga | Penggusuran paksa 5.268 keluarga (1987) dengan ganti rugi Rp 700/m² | Proses tidak partisipatif dan ganti rugi tidak adil |
3. Stretegi Perlawanan | Protes hukum, media sosial, penolakan tanda tangan | Aksi massa mahasiswa & Budayawan, pendudukan lahan | Kombinasi resistensi pasif-aktif |
Sumber: PUPR, (Tirto, 2017), (Lukman Hadi Subroto, 2022)
Pelajaran penting dari kasus ini adalah mendesaknya kebutuhan akan reformasi kebijakan pembangunan yang lebih partisipatif, inklusif, dan berkeadilan. Negara harus secara serius mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat lokal, serta melibatkan mereka secara bermakna dalam seluruh proses pembangunan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Hanya dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan berkelanjutan, pembangunan infrastruktur dapat benar-benar membawa kesejahteraan bagi semua pihak, bukan hanya segelintir elite.