Penulis : Muhammad Al-Fatih (Internship)
Yogyakarta, Ahad 11 Mei 2025 – Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan kegiatan Pengabdian Masyarakat bertajuk Peningkatan Kesadaran Politik Pemilih Muda: Pemilu dan Politik Uang. Kegiatan ini diselenggarakan bekerja sama dengan Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) serta Komite Independen Sadar Pemilu (KISP), sebuah Non-Government Organization (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berfokus pada penyampaian pesan moral dan nilai-nilai kepemiluan serta demokrasi kepada masyarakat luas.
Bambang Eko C. Widodo, S.IP., M.Si., dan Prof. Dr. Titin Purwaningsih, S.IP., M.Si., menjadi pemateri dalam kegiatan Pemberdayaan Masyarakat yang diselenggarakan oleh LHKP PP Muhammadiyah pada Ahad lalu. Keduanya, yang akrab disapa Pak Bambang dan Prof. Titin oleh para mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY, merupakan dosen pengampu mata kuliah dengan konsentrasi pada tata kelola pemilu dan politik lokal.
Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat ini dihadiri oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) se-Kota Yogyakarta, seperti Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dari berbagai Pimpinan Cabang serta Pimpinan Komisariat.
Selaras dengan tema kegiatan Peningkatan Kesadaran Politik Pemilih Muda: Pemilu dan Politik Uang, sasaran utama kegiatan ini memang ditujukan kepada AMM yang mayoritas terdiri dari anak muda berusia produktif sebagai pemilih pemula. Diharapkan kegiatan ini tidak hanya meningkatkan kesadaran dan kepekaan mereka terhadap bahaya politik uang yang kian marak dengan beragam bentuk, tetapi juga mendorong mereka untuk menyebarkan pemahaman tersebut kepada masyarakat luas, sehingga kesadaran kolektif terhadap bahaya politik uang semakin meluas di tengah masyarakat.
Dalam kegiatan ini, Bambang selaku pemateri menyampaikan bahaya politik uang terhadap kondisi demokrasi di Indonesia, kualitas pemerintahan, serta masa depan masyarakat secara keseluruhan. Ia menekankan bahwa masyarakat yang menjadi objek politik uang lama-kelamaan akan mengalami ketergantungan terhadap hadiah atau uang yang diberikan. Akibatnya, kemandirian ekonomi menjadi sulit dicapai jika praktik ini terus berlangsung. Lebih dari itu, politik uang juga dapat menghilangkan sikap kritis masyarakat dalam memilih calon pejabat publik, karena pilihan mereka sudah terlebih dahulu “dikondisikan” oleh iming-iming hadiah.
Yang lebih mengkhawatirkan, menurut Bambang, adalah dampaknya terhadap kualitas demokrasi dan pemerintahan. Politik uang dapat menggeser kekuasaan politik menjadi persoalan privat. Akibatnya, dana operasional yang seharusnya digunakan untuk keberlanjutan masyarakat dan pembangunan infrastruktur justru disisihkan untuk mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan saat kampanye. Selain itu, praktik politik uang juga terus menyuburkan budaya suap dan korupsi di Indonesia.
Selain menjelaskan bahaya dan dampak negatif politik uang, Bambang juga memaparkan berbagai bentuk praktik politik uang, mulai dari yang umum diketahui hingga yang jarang disadari sebagai bagian dari politik uang. Salah satu bentuk yang paling umum adalah vote buying (pembelian suara). Praktik ini sudah sangat lumrah dan sering terdengar, di mana calon pejabat publik, melalui tim sukses atau relawannya, membagikan barang atau uang tunai dalam jumlah tertentu kepada calon pemilih menjelang hari, atau bahkan beberapa jam sebelum pemungutan suara. Tujuannya jelas: agar penerima imbalan tersebut memberikan suara kepada calon yang bersangkutan.
Selain vote buying, terdapat pula bentuk lain yang disebut individual gifts (pemberian pribadi). Dalam praktik ini, calon pejabat publik juga melalui tim sukses dan relawannya membagikan barang-barang seperti suvenir atau kenang-kenangan, baik saat kampanye maupun ketika melakukan kunjungan langsung ke rumah-rumah calon pemilih. Tujuannya serupa, yakni agar penerima hadiah tersebut memilih calon yang memberikan barang tersebut.
Selanjutnya, bentuk lain dari praktik politik uang adalah dalam bentuk pelayanan dan aktivitas (services and activities). Bentuk ini biasanya dilakukan oleh kandidat yang mengadakan kegiatan sosial, olahraga, atau kesehatan yang sepenuhnya disponsori atau didanai oleh kandidat tersebut. Tujuannya adalah agar masyarakat yang menjadi sasaran merasa diperhatikan, sehingga diharapkan mereka akan memilih kandidat tersebut dalam kontestasi politik.
Bentuk lain yang tak kalah berbahaya adalah politik uang dalam bentuk club goods (barang-barang kelompok), di mana manfaat dari praktik ini lebih ditujukan kepada kelompok dibandingkan individu. Praktik politik uang dalam bentuk club goods ini umumnya terbagi menjadi dua kategori. Pertama, donasi kepada asosiasi-asosiasi komunitas, seperti ikatan alumni sekolah, komunitas hobi, dan persatuan guru. Kedua, komunitas yang tinggal di wilayah perkotaan maupun pedesaan, seperti kelompok ibu-ibu PKK, kelompok tani, dan sebagainya. Tidak jarang, selain memberikan donasi berupa uang, kandidat juga memberikan barang-barang fisik sesuai kebutuhan komunitas saat melakukan kunjungan. Harapannya, dengan memberikan bantuan kepada komunitas tersebut, kandidat dapat mengunci dukungan suara dari kelompok tersebut dan mendorong mereka untuk memobilisasi suara yang lebih luas sebagai basis akar rumput maupun relawan.
Bentuk praktik politik uang yang terakhir, dan juga merupakan salah satu yang jarang diketahui bahkan sering tidak disadari sebagai bagian dari praktik politik uang, adalah proyek-proyek pork barrel. Dalam praktik pork barrel, para kandidat tidak hanya menggunakan dana pribadi, tetapi juga kerap memanfaatkan dana pemerintah untuk kepentingan kampanye terselubung.
Proyek pork barrel biasanya ditujukan pada wilayah geografis tertentu, dengan karakteristik berupa proyek publik yang didanai oleh anggaran negara, namun dimaksudkan untuk meraih dukungan masyarakat terhadap kandidat tertentu. Praktik ini umumnya dilakukan oleh kandidat petahana yang menjanjikan pembangunan infrastruktur sebagai bentuk pencitraan saat menjelang pemilu, dengan harapan publik akan memilih mereka kembali. Kandidat yang sudah berada dalam struktur pemerintahan pun sering memanfaatkan proyek ini sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dalam periode selanjutnya.
Selain Bambang, Prof. Titin juga menyampaik materi dalam sesi yang berbeda. Jika Bambang lebih banyak membahas aspek teoritis, maka sesi yang dibawakan oleh Prof. Titin lebih menitikberatkan pada diskusi interaktif yang membahas solusi atas dampak buruk praktik politik uang. Sesi ini berlangsung dengan sangat interaktif, baik dari sisi pemateri maupun peserta yang hadir. Prof. Titin membuka diskusi dengan dua pertanyaan utama, yaitu: mengapa politik uang, khususnya di Indonesia, menjadi hal yang lumrah? Dan bagaimana solusi untuk mengurangi praktik politik uang tersebut?
Metode penyampaian dan pembawaan materi oleh Prof. Titin berhasil menciptakan suasana yang aktif dan partisipatif. Setelah memberikan pertanyaan pemantik, peserta diberi waktu untuk berdiskusi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan. Salah satu kelompok menyampaikan pendapatnya terhadap pertanyaan, “Mengapa politik uang telah menjadi hal yang lumrah di Indonesia?” Mereka berpendapat bahwa hal ini dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama, rendahnya kapasitas pemahaman masyarakat Indonesia mengenai bahaya politik uang, sehingga mereka tidak memahami urgensi untuk menolak berbagai praktik tersebut maupun cara menghadapinya. Kedua, kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia yang masih rendah jika dilihat dari aspek ekonomi. Lebih lanjut, kelompok ini menyampaikan bahwa dengan tingginya angka kemiskinan yang jauh melebihi jumlah masyarakat sejahtera, serta minimnya pemahaman masyarakat terhadap dampak buruk politik uang, maka kedua faktor ini menjadi penyebab utama suburnya praktik politik uang di Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya adalah solusi untuk meminimalisir praktik politik uang di Indonesia. Kelompok lain mengemukakan pendapatnya melalui perwakilan mereka, Almira Putri Azzahra, salah satu peserta dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Almira mengemukakan bahwa salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi praktik politik uang adalah dengan menyelesaikan masalah yang menjadi faktor pendorong terjadinya kecurangan tersebut. Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa masalah utama adalah kendala ekonomi, seperti yang telah disampaikan kelompok sebelumnya. Kondisi ini memudahkan masyarakat menerima tawaran uang dengan cara yang sederhana, dan kelompok yang menjadi target praktik politik uang ini adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Secara umum, solusi yang ditawarkan adalah dengan mensejahterakan masyarakat Indonesia terlebih dahulu, sambil memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai bahaya praktik politik uang.
Pada akhir sesi yang dipandu oleh Prof. Titin, para peserta diberikan selembar kertas yang berisi pertanyaan mengenai pengalaman dan tanggapan mereka terhadap forum yang telah berlangsung. Selain itu, peserta juga diminta untuk memberikan saran guna meningkatkan keproduktifan forum-forum serupa di masa depan.