Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik - Persyarikatan Muhammadiyah

Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
.: Home > Berita > Antara Legalitas dan Legitimasi dalam Politik Agraria

Homepage

Antara Legalitas dan Legitimasi dalam Politik Agraria

Jum'at, 09-08-2024
Dibaca: 67

Yogyakarta- Persoalan agraria di Indonesia masih menjadi isu yang kompleks dan multidimensi. Hal ini terungkap dalam bedah buku dan diskusi publik bertajuk "Politik Agraria di Indonesia" yang diselenggarakan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah pada Selasa, 25 Juni 2024. Acara yang berlangsung di Ruang Serbaguna Gedung Utama UAD Kampus 4 ini menghadirkan sejumlah pakar hukum terkemuka untuk membahas berbagai aspek kompleks dari masalah pertanahan di Indonesia. Dipimpin oleh Dr. M Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum, diskusi ini menghadirkan pembicara utama Dr. Marcella Santoso, S.H., M.Kn, Dr. Suryadi, S.H., M.H, dan Dr. Indah Nur Shanty Saleh, S.H., M.Hum. Para pakar ini membedah secara mendalam problematika politik agraria, khususnya terkait legalitas dan legitimasi Surat Keterangan Tanah (SKT) di Indonesia.

 

Dr. Marcella Santoso telah melakukan penelitian mendalam sejak 2015, mengawali presentasinya dengan mengungkapkan paradoks dalam sistem pertanahan Indonesia. Ia menjelaskan bahwa meskipun pemerintah telah berupaya mempercepat proses sertifikasi tanah melalui program-program seperti PTSL, masih terdapat berbagai permasalahan yang perlu diperhatikan. Berdasarkan pengalamannya sebagai advokat, Dr. Marcella Santoso menyoroti fenomena di mana sertifikat tanah, yang seharusnya menjadi alat bukti kepemilikan terkuat, bisa dikalahkan di pengadilan oleh Surat Keterangan Tanah (SKT). Ia menyatakan bahwa hal ini menimbulkan kegelisahan dan ketidakpastian hukum di masyarakat, serta mempertanyakan bagaimana bisa menciptakan rasa aman dalam transaksi tanah jika sertifikat masih bisa dikalahkan. Dr. Marcella Santoso juga menggarisbawahi peran krusial kepala desa dalam penerbitan SKT. Ia menjelaskan bahwa di hampir seluruh Indonesia, ditemukan administrasi tanah yang tidak rapi dan tidak jelas kepemilikannya. SKT yang dibuat kepala desa, meski memiliki nama berbeda-beda di berbagai daerah, pada dasarnya berisi keterangan tentang penguasaan tanah. Ia menambahkan bahwa meskipun SKT bukan dokumen kepemilikan tanah, dalam praktiknya sering dikomersialkan dan menimbulkan berbagai masalah. Lebih lanjut, Dr. Marcella Santoso menekankan pentingnya memahami konteks sosio-antropologis dalam masalah ini. Ia menjelaskan bahwa kepala desa dinilai sebagai tetua yang dihormati dan memiliki legitimasi dari masyarakat. Namun, ia memperingatkan bahwa jika oknum kepala desa tidak bersih, bisa terjadi penumpukan kepemilikan dalam satu tanah.

 

Dr. Suryadi, dalam presentasinya, memuji buku yang menjadi topik diskusi karena mengangkat isu alat bukti kepemilikan tanah secara komprehensif. Ia menyoroti fenomena di mana SKT sering kali bisa mengalahkan sertifikat di pengadilan. Dr. Suryadi menjelaskan bahwa hakim, dengan otoritasnya yang luas, akan melihat riwayat dan peristiwa terjadinya SKT. Ia menambahkan bahwa hal ini menarik karena undang-undang pokok agraria menyatakan bahwa tanda kepemilikan yang kuat adalah sertifikat, namun dalam praktiknya, SKT bisa memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi. Dr. Suryadi juga menyinggung praktik pencatatan tanah di tingkat desa. Ia memberikan contoh di Yogyakarta, di mana di kelurahan dan desa ada yang namanya buku tanah untuk mencatat riwayat kepemilikan tanah. Ia menekankan bahwa hal ini menjadi penting dalam proses pemeriksaan oleh hakim saat terjadi sengketa.

 

Sementara itu, Dr. Indah Nur Shanty Saleh menekankan perbedaan makna antara legalitas dan legitimasi dalam konteks kepemilikan tanah. Ia menjelaskan bahwa legalitas dan legitimasi memiliki makna yang berbeda, dan meskipun keduanya penting, sering kali terjadi ketimpangan antara keduanya dalam kasus-kasus pertanahan. Dr. Indah Nur Shanty Saleh juga menggarisbawahi kompleksitas persoalan agraria di Indonesia. Ia menyatakan bahwa persoalan tanah ini tidak akan selesai karena merupakan konflik 'basah' dan bercabang banyak. Ia menekankan perlunya pemahaman bahwa masalah ini tidak hanya tentang hukum, tetapi juga melibatkan aspek sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Ia menambahkan bahwa perlindungan hukum terhadap masyarakat harus menjadi prioritas dan keterlibatan negara dalam negara hukum sangat dibutuhkan untuk memastikan hak-hak masyarakat atas tanah terlindungi.

 

Sesi tanya jawab mengungkap berbagai isu menarik dan kasus-kasus spesifik yang dihadapi masyarakat. Salah satu peserta, Amriana Ambri dari Fakultas Hukum UAD, mengangkat kasus di Palu pasca bencana. Ia menceritakan bagaimana pemerintah berencana membangun di atas tanah warga yang tidak bersertifikat, namun memiliki SKPT (Surat Keterangan Penguasaan Tanah). Menanggapi hal ini, Dr. Marcella Santoso menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh mengabaikan hak masyarakat atas tanahnya, meskipun tidak memiliki sertifikat. Ia menjelaskan bahwa negara bukan berarti memiliki semua tanah, dan berbicara tentang hak, itu adalah hak privat. Ia menekankan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan hal tersebut dan menyarankan agar masyarakat tidak ragu untuk mengajukan gugatan ke PTUN jika hak-hak mereka dilanggar. Peserta lain, Muhammad Rizwan, mengangkat pertanyaan filosofis tentang kemanfaatan hukum mengenai pentingnya manfaat penguasaan tanah dibandingkan dengan sekedar kepemilikan sertifikat dengan mengutip pemikiran Jeremy Bentham tentang "The Greatest Happiness for the Independent". Menanggapi pertanyaan ini, Dr. Santoso menekankan bahwa dalam konteks penguasaan tanah, yang layak diperjuangkan adalah yang bermanfaat. "Yang penting adalah bagaimana tanah itu bisa memberikan manfaat bagi masyarakat. Jangan sampai kita memiliki sertifikat tapi tidak bisa mengakses tanah yang dimiliki," ujarnya. Ia memperingatkan agar jangan sampai terjadi situasi di mana seseorang memiliki sertifikat tapi tidak bisa mengakses tanah yang dimiliki.

 

Diskusi juga menyinggung rencana pemerintah untuk menghapuskan SKT dan SKD (Surat Keterangan Desa). Para pakar menyoroti bahwa langkah ini bisa menimbulkan masalah baru dalam sistem pertanahan Indonesia. Salah satu peserta mempertanyakan ke mana lanjutan persoalan kepemilikan pertanahan ini jika SKT dan SKD dihapuskan. Dr. Suryadi menekankan pentingnya memahami konsep penguasaan tanah oleh negara. Ia menjelaskan bahwa bumi, air, tanah, dan alam dikuasai oleh negara, tetapi bukan berarti memiliki. Ia menegaskan bahwa seharusnya negara mengatur dan mendistribusikan kepada masyarakat, warga, rakyat, dan negara juga memiliki hak untuk memiliki, bukan malah negara mengambil alih hak masyarakat. Dr. Indah Nur Shanty Saleh menambahkan pentingnya mengembalikan Indonesia ke konsep negara hukum kesejahteraan. Ia menyatakan bahwa tujuan kesejahteraan itu ialah pemerintah yang harus bergerak, dan memastikan pemerintah harus bergerak. Ia menekankan perlunya mempertanyakan apakah penguasaan tanah itu dibuat dipersulit, dipermudah, atau bagaimana.

 

Sebagai penutup, para pembicara menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mengelola dan mencatat riwayat tanah secara akurat, terutama di tingkat desa. Mereka juga menggarisbawahi perlunya perlindungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat dalam urusan pertanahan. Dr. Santoso menyimpulkan bahwa dalam bukunya, ia ingin memberi kesempatan. Ia menegaskan bahwa tanah yang memiliki legitimasi dan legalitas yang benar harus diperjuangkan. Ia menambahkan bahwa ini adalah tugas bersama untuk membenahi keruwetan ini, dan perlu waktu yang panjang. Diskusi ini tidak hanya membuka wawasan tentang kompleksitas masalah agraria di Indonesia, tetapi juga memberikan perspektif baru dan potensi solusi terhadap berbagai isu pertanahan yang dihadapi masyarakat. Dengan adanya dialog terbuka seperti ini, diharapkan dapat muncul langkah-langkah konkret untuk 


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website