- Persyarikatan Muhammadiyah

.: Home > Artikel

Homepage

Populisme Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

.: Home > Article > Lembaga
14 Agustus 2024 14:59 WIB
Dibaca: 52
Penulis : Widhyanto Muttaqien (Wakil Ketua Bidang Politik SDA LHKP PP Muhammadiyah)

Koneksi politik dalam pemberian izin tambang bagi Ormas diduga dilakukan untuk konsolidasi kekuasaan pasca Jokowi. Rasa tidak aman dialami oleh para pemenang Pemilu 2024 lalu, baik dari partai koalisi dan pendukung Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo-Gibran. Tulisan ini merupakan opini penulis untuk melihat bagaimana Ormas sebagai sebuah gerakan masyarakat sipil terancam progresifitasnya.

 

Walaupun disepuh oleh hasil survei tentang suksesnya dua periode kepemimpinan Jokowi, beberapa permasalahan mendasar tiba-tiba muncul kembali seperti permasalahan ketahanan pangan1. Provinsi Papua merupakan provinsi dengan prevalensi kekurangan gizi terbesar yaitu 35,63%2 padahal di Provinsi ini merupakan proyek lumbung pangan terbesar yang sudah diusahakan dan gagal sejak masa pemerintahan SBY yang kemudian dilanjutkan oleh Jokowi. Masalah kedua pengangguran di Indonesia semakin meningkat dengan tingkat kerentanan pada tenaga prekariat dan Gen Z, isu bonus demografi nampaknya akan menjadi masalah ke depan3&4. Ketiga, pelanggaran HAM yang meningkat, menurut Amnesty International5 Indonesia semakin terjerat dalam siklus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sistematis, dengan melibatkan aparat-aparat negara. Keempat adalah krisis ekologi, yang merupakan hasil dari pembangunan yang mengedepankan ekonomi ekstraktivis dan deforestasi masif dalam membangun ekonomi. Kelima ketahanan negara, serangan terakhir terhadap data di tahun 2024 yang menyebabkan hilangnya data 282 layanan Kementrian/Lembaga6 Serangan siber di Indonesia sudah seringkali terjadi termasuk ke lembaga perbankan, bahkan Bank Indonesia pernah mengalaminya7&8 . Keenam utang Negara yang terus meningkat9 dengan pembayaran cicilan mencapai 1.000 trilyun10&11 yang mendekati 41% dari Total PDB12.

 

Deretan enam masalah yang dapat menyebabkan ketidakstabilan politik pasca Pilpres 2024 ini masih bisa dikendalikan, namun gelagat untuk mengembalikan neo fasis atau pemerintahan otoritarian terbuka, terutama dengan kembalinya dwifungsi TNI yang dapat menjabat lembaga negara sebagai prajurit aktif dan meluasnya peran Polri yang bisa mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi yang bermuara pada kriminalisasi.13 Respon dari ancaman ketidakstabilan politik ini adalah dengan mengkonsolidasikan masyarakat sipil dengan isu populis mulai dari janji kampanye Prabowo-Gibran tentang makan siang gratis, menaikkan gaji ASN/pejabat negara, memperbanyak bansos. Dengan tingkat pendidikan di bawah SMA sebesar 59,62%14 tentu program seperti ini diminati banyak orang. Para elit partai dan oligarki menggunakan isu aspirasi kaum pinggiran 59,62% ini untuk menelikung demokrasi. Kaum pinggiran ini diromantisasi dengan memperjuangkan ‘kedaulatan rakyat’.

 

Populisme dalam pengelolaan sumberdaya seperti yang diungkapkan oleh Nahdatul ulama sebagai perluasan pemanfaatan sumberdaya alam bagi kemashalahatan rakyat15. Sementara Muhammadiyah berkomitmen memperkuat dan memperluas dakwah dalam bidang ekonomi termasuk pengelolaan tambang yang sesuai dengan ajaran Islam dan semangat konstitusi sesuai pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengatasnamaan rakyat atau umat menjadi ciri dari populisme.

 

Ancaman terbesar dari populisme yang merambah ormas keagamaan dalam permasalahan izin tambang ini adalah proyek politik identitas yang akan dimainkan kemudian. Pertukaran modal sosial di kedua ormas terbesar ini dengan usaha tambang yang selama ini dimiliki oligarki merupakan kemenangan terbesar bagi oligarki dalam mencadangkan kekuatannya lewat ormas Islam. Selama ini kedua ormas tersebut lebih banyak berkhidmat dalam layanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan, kegiatan ekonomi dilakukan dengan berbagai program pemberdayaan, namun untuk permasalahan ketimpangan ekonomi, krisis ekologi dan kerusakan lingkungan yang masif, kedua organisasi ini belum banyak memiliki rekam jejak selain gerakan lingkungan konvensional yang mendukung agenda-agenda politik neoliberal yang pandai mengemas diri sebagai juruselamat bagi praktek buruk mereka sendiri

 

Koneksi politik tidak selalu dilakukan oleh ‘orang partai’ namun partai politik Indonesia seperti yang disebut Noorsy (2019) sebagai demokrasi korporasi, Winter sebagai demokrasi oligarkis (2014), Hadiz dan Robison (2013) sebagai demokrasi iliberal, menjadi corong bagi oligarki, terutama jika dilihat dari outputnya seperti disahkannya UU Cipta Kerja yang bermasalah beserta turunannya yang dibuat oleh Kementrian. Partai politik juga disokong oleh kekuatan media, lembaga survei, dan pemodal dari lingkungan partai politik itu sendiri (Winters, 2014). Koneksi politik bisa dilakukan oleh diapora anggota ormas di partai atau di pemerintahan, yang kemudian menjadi perantara (pengasong) yang akan mempertemukan kepentingan oligarki dengan masyarakat sipil. Bagi saya, kasus terpilihnya Jokowi pada Pilpres 2014 yang didukung seluruh elemen organisasi masyarakat sipil yang mengalami histeria adalah kemenangan oligarki yang sesungguhnya, sebagai konsolidasi tahap kedua (jika boleh memberikan pentahapan setelah 2004) konsolidasi kekuasaan lama (yang bercorak otoriter dan militeristik). Maka Pilpres 2024, sebagai konsolidasi tahap ketiga menjadi pembuktian jika Prabowo yang dikenal ‘mahir dan dekat’ dengan kelompok Islam akan menggunakan agama sebagai legitimasi kekuasan sekaligus mengkonsolidasikan lembaga keagamaan untuk kepentingannya.

 

Kekhawatiran terbesar tentu mengendurnya semangat progresif sebagai gerakan politik dari kalangan Islam. Mendekatnya dua ormas terbesar di Indonesia dan MUI kepada Prabowo – Gibran bisa jadi sebagai politik belah bambu di antara organisasi masyarakat sipil berbasis keyakinan. Pernyataan elit Muhammadiyah seperti ‘…Gerakan ini kritis dan anti dalam pengelolaan sumberdaya alam karena dianggap produk rezim yang eksploitatif bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan oligarki. Termasuk dalam pengelolaan minerba.16 seolah-olah Muhammadiyah (mudah) disusupi kelompok kiri, membuktikan semangat pecah belah tersebut. Sangat disayangkan memang, tambang justru menjadi titik masuk oligarki untuk menggunakan ‘metode coba-coba’ dengan menawarkan pandangan miopik (jangka pendek) dalam melihat masalah mengakar dalam yang disebabkan jebakan demokrasi oligarkis, yaitu hilangnya martabat dan kedaulatan. Padahal Muhammadiyah sesuai hasil Muktamar 2022 memiliki peta jalan sendiri dalam mengatasi kondisi kebangsaan dan masalah keumatan. 

 

Disrupsi oleh isu tambang tentu mesti disikapi dengan membuka ruang seluas-luasnya untuk dialog dan membuka kembali perdebatan, dengan memindai kembali aktor-aktor yang terlibat dalam isu tambang, bukan lagi soal tambang an sich yang dijadikan bahan perdebatan, melainkan posisi Muhammadiyah dalam melihat output kebijakan publik rezim Jokowi seperti UU Cipta Kerja yang juga menghasilkan PP Nomor 25 Tahun 2024. Menggunakan window exit seperti ‘Apabila pengelolaan tambang lebih banyak menimbulkan mafsadat, maka Muhammadiyah secara bertanggungjawab akan mengembalikan ijin usaha pertambangan kepada Pemerintah’, tidak cukup mendefisinisikan Muhammadiyah sebagai gerakan moderat-berkemajuan, sebab kalimat politis ini bagian dari ‘metode coba-coba’ yang disarankan pengasong tambang. 

 

Kutipan :

  1. 1 Ketahanan Pangan Kian Rapuh, Indonesia Berpotensi Menjadi Importir Beras Terbesar di Dunia (msn.com)
  2. Badan Pangan Nasional - NFA Rilis Peta Kerentanan dan Ketahanan Pangan Tahun 2023, Daerah Rentan Rawan Pangan Menurun - Blog
  3. Awal 2023, Ada 7,9 Juta Pengangguran di Indonesia (katadata.co.id)
  4. Ekonomi Gig dan Kelas Prekariat - Ekonomi dan Bisnis - majalah.tempo.co
  5. Indonesia makin terjerat siklus pelanggaran HAM sistematis • Amnesty International Indonesia
  6. Data 282 Layanan Kementerian/Lembaga Hilang Usai Diserang Ransomware, Ini Kata Ahli (kompas.com)
  7. Deretan Kasus Siber di Sektor Keuangan, Ada BFIN hingga BPJS (cnbcindonesia.com)
  8. Bank Indonesia Benarkan Alami Serangan Siber pada Desember (mediaindonesia.com)
  9. Utang Pemerintah Capai Rp 8.353 Triliun pada Mei 2024, Terbesar di SBN - Makro Katadata.co.id
  10. Cicilan Utang RI Rp1.000 T/Tahun, Sri Mulyani: Bisa Dikontrol (cnbcindonesia.com)
  11. Ini Pembayaran Cicilan dan Bunga Utang Pemerintah Selama Era Jokowi (katadata.co.id) 
  12. Deretan Peringatan IMFdari Lonjakan Utang hingga Ancaman Ekonomi RI Stagnan - Makro Katadata.co.id
  13. Revisi UU Polri Dinilai Ancam Kebebasan Berekspresi, Penolakan Menguat - Kompas.id
  14. Tamatan Tingkat Pendidikan Warga Indonesia Terbanyak dari SMA pada Maret 2023 (katadata.co.id)
  15. Ketua Umum PBNU Angkat Bicara soal Konsesi Tambang untuk Ormas Keagamaan
  16. Pengaruh Ideologi Kiri LSM (suaramuhammadiyah.id)

 


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Category :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website