Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik - Persyarikatan Muhammadiyah

Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
.: Home > Artikel

Homepage

MENGAPA KECURANGAN PEMILU 2024 HARUS DILETAKKAN DI MEJA ANGKET DPR-DPD?

.: Home > Artikel > Lembaga
06 Maret 2024 15:01 WIB
Dibaca: 110
Penulis : Dr. Mulyadi (Opu Andi Tadampali)

Suatu negara disebut republik jika negara itu mempratikkan pemerintahan repsentatif (demokrasi), dimana berlaku salah satu fatsun politik bahwa terdapat kewajiban politik bagi penyelenggara negara untuk selalu tunduk pada kontrol politik efektif warga negara. Tujuan kontrol politik warga negara terhadap kekuasaan yang ada di tangan penyelenggara negara adalah untuk menjamin beroperasinya jenis kekuasaan baik (power proper). 
 
Kontrol politik warga selain hak politik, juga kewajiban politik. Sebab tanpa adanya kontrol politik efektif dari warga negara hampir dipastikan penyelenggara negara akan mengubahnya menjadi praktik kekuasaan buruk (power over) untuk melindungi dirinya. Dengan power over itu, maka penguasa dapat terhindar dari ancaman oposisi politik. Melalui penindasan, anti-kritik, anti-perubahan, status quo dan korupsi, komplotan penguasa buruk selamat dari kejaran massa politik. Selain itu, kontrol demokratis warga negara ini untuk memastikan kualitas demokrasi tetap terjaga yang ditandai oleh pembentukan dan penyelenggaraan pemerintahan repsentatif secara periodik, yang menghasilkan pemerintahan yang baik (good governance): transparan, akuntabel, kredibel, dan partisipatif.
 
Supremasi Politik: Kontrol Warga Negara
         
Di negara republik, tak ada alasan bagi warga negara untuk bermalas-malasan mengawasi pemerintahan dan kekuasaan yang ada di tangan penyelenggara negara. Resiko politik dari kemalasan warga negara mengawasi jalannya politik pemerintahan adalah penindasan abadi. Juga tak ada alasan bagi para penyelenggara negara menghindar dari kontrol politik efektif warga negara.  
         
Di negara republik, pengawasan politik efektif warga negara terhadap penyelenggara negara bersifat mutlak, dan penolakan atasnya akan berujung pada penurunan paksa penguasa (pemakzulan). Di negara republik, kekuasaan negara pada dasarnya baik (power proper).  Jenis kekuasaan ini penting karena akan digunakan oleh negara untuk melaksanakan lima fungsi alamiahnya, yakni: (1) welfare, yang dibebankan kepada institusi pemerintah (birokasi); (2) freedom, yang dibebankan kepada institusi otoritas sipil; (3) justice, yang dibebankan kepada institusi peradilan; (4) external security, yang dibebankan kepada institusi kemiliteran; dan (5) internal order, yang dibebankan kepada institusi kepolisian.
 
Konflik Hak Politik
         
Hak-hak politik warga negara dalam mengawasi jalannya pemerintahan termasuk mengontrol para pejabat pemerintah dalam menggunakan kekuasaan negara, bukanlah hak istimewa yang diberikan oleh peraturan hukum. Jauh di atas hukum, hak politik warga negara merupakan sekwensi dari adanya negara, sehingga bersifat alami dan ilmiah. Hukum itu sendiri hanya konsekuensi adanya negara dalam menjalankan fungsinya
         
Oleh sebab itu, hak-hak politik warga negara: hak berbicara-berpendapat, hak berkumpul-berserikat, dan hak memerintah diri sendiri bukanlah konsekuensi dari berlakunya hukum. Melainkan sekwensi dari eksistensi negara, sehingga melekat pada semua struktur politik. Dalam kasus rezim-rezim politik non-demokratis, seperti rezim otoriter, despotis, totaliter, diktator dan fasis, tak ada kewajiban bagi warga negara untuk patuh pada pemerintah. Negara dibentuk oleh kehendak politik warga negara, bukan dibentuk oleh kehendak hukum. Olehnya itu bilamana terjadi konflik antara warga negara dengan penyelenggara negara, maka hukum tidak boleh berada di tengah apalagi menghalangi warga negara untuk menggunakan hak-hak politiknya. Tidak ada alasan bagi hukum untuk terlibat dalam konflik politik itu, mengingat argumen hukum demi kepentingan umum sudah inheren di dalam hak-hak politik warga negara. 
         
Bagi warga negara,  hak politik atas apa yang baik, benar, dan menguntungkan baginya tidaklah ditentukan oleh hukum. Melainkan ditentukan oleh tujuan penggunaan hak-hak politik itu yaitu kebaikan umum berdasarkah kehendak umum. Larangan bagi hukum untuk terlibat dalam suatu konflik politik didasarkan pada nalar etis bahwa hukum berpotensi menggunakan pertimbangan benar-salah atau menang-kalah dalam menilai dasar, alasan, dan sebab terjadinya konflik politik, sehingga potensial berujung pada kekalahan hak-hak politik warga negara atau kemenangan penyelenggara negara non-demokratis. 
 
Jalur Politik
         
Dalam kasus kecurangan pilpres dan pileg 2024, warga negara melalui penggunaan hak-hak politiknya telah menemukan pelakunya beserta evidennya. Sudah transparan pelakunya adalah penyelenggara negara. Dengan demikian penolakan warga negara terhadap hasil pemilu harus dilihat sebagai deskripsi politik atas terjadinya konflik politik vertikal antara warga negara dengan penyelenggara negara. Oleh karena itu, hukum tak lagi memiliki argumen hukum untuk membawanya ke jalur hukum vertikal, yakni Mahkamah Konstitusi (MK). Satu-satunya metode penyelesaian konflik politik vertikal ini adalah dengan membawanya ke jalur politik vertikal, yakni ke DPR dan DPD.  Dengan jalur politik vertikal itu, selain hukum tidak memiliki argumen untuk intervensi, juga wajah pelaku kecurangan bisa ditonton oleh publik politik dunia. Selain itu, kedudukan pelaku kecurangan sebagai obyek buruan politik semakin tegas.
         
Setidaknya ada empat alasan pokok mengapa konflik politik vertikal itu harus dibawa ke jalur politik: angket DPR dan DPD, yakni: 
(1) konflik politik vertikal antara warga negara dengan penyelenggara negara tentang hak politik tidak dapat diselesaikan dengan pertimbangan benar-salah atau menang-kalah. Penggunaan jalur hukum harus dikesampingkan untuk mencegah hukum menggunakan pertimbangan benar-salah atau menang-kalah dalam menyerang hak-hak politik warga negara; 
(2) penyelesaian kasus politik melalui jalur hukum bukan hanya membuat hukum menjadi semakin buruk, tetapi juga memberi peluang kepada pelaku bersembunyi di dalam hukum dalam aktraksi "cuci tangan" dan "cuci mulut" atas kejahatan politik yang dilakukannya; 
(3) bagi penyelenggara negara yang menjadi pelaku kecurangan pemilu,  penggunaan jalur hukum merupakan jalan untuk melarikan diri, sehingga kemenangan atasnya hampir dapat dipastikan; 
(4) jalur politik memberi ruang bagi kemunculan varian gerakan politik yang dapat menguatkan tekanan politik untuk memaksa  aktor-aktor kecurangan pemilu muncul di depan panggung untuk mempertanggungjawabkan kelakuan politiknya. Tekanan politik, seperti petisi para intelektual, aksi-aksi demonstrasi berkelanjutan, dan sejenisnya  justru penting untuk membuat pelalu kecurangan lelah bersembunyi di belakang peraturan hukum. 
       
Dalam metode politik, berada di jalur politik lebih efektif dibanding di jalur hukum. Panggung orasi politik para pelaku kecurangan untuk melakukan propaganda politik dan agitasi politik, tak lagi efektif jika berhadapan dengan tekanan politik. Ingat, jauh lebih mudah mengosongkan panggung orasi itu dengan melepas dua tiga ekor ular di depan panggung disertai teriakan "ulaar ... berbisa!" dibanding meminta bantuan aparat penegak hukum yang prosesnya panjang dan berliku seperti sulitnya ular berjalan lurus.

Tags: #Politik#LHKP#Kebijakan
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website