Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik - Persyarikatan Muhammadiyah

Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
.: Home > Berita > Politik Uang di Wakanda: Musim Semi Nan Senyap

Homepage

Politik Uang di Wakanda: Musim Semi Nan Senyap

Rabu, 12-06-2024
Dibaca: 79

 

Oleh David Efendi

 

Ada dua istilah yang musti saya deklare diawal. Pertama, politik uang atau money politik adalah makhluk gaib dan bisa jadi maujud. Gaib niatnya, gaib janjinya, nyata barang dan uangnya. Politik uang sebagai bentuk pemberian dalam rangka mempengaruhi, mengubah, mempertahankan polihan politiknya dalam pemilu. Kadang kerap berujung pada praktik saling khianat akibat ketidakpastian mekanisme politik uang. Ada yang menebar jala agar banyak tangkapan dan ada yang menebar lubang agar banyak yang terporosok dalam lubang tambang eh politik uang maksudnya. Dalam politik uang ini sedapat mungkin dihukumi relatifitas Einstein. Semakin tidak pasti semakin “maslahat” bagi semua pihak.

 

Kedua, Musim semi Sunyi senyap itu sejenis blangkemen, atau sakit gigi atau juga tak kuasa berkata lalu hanya dengan ngelus dada. Inilah kondisi kebangsaan kita dari segala titik nadirnya: keagamaan, pendidikan, ekopol, kebudayaan, dan seterusnya. Pun dalam beberapa saat ini kondisi Nurani kita sudah senyap untuk bicarakan kecurangan atau pelanggaran aturan main yang kian massif atau dikenal juga TSM. TSM pun direlatifkan dan praktik kecurangan sudah normal. Sangat normal.  Salah satu normalisasi yang meyakinkan adalah fatwa gus Baha: membeli kebenaran. Membeli suara untuk ‘niat baik’.Politisi harus menjadi kapitalis dan sosialis dalam waktu bersamaan. Bisa juga macak religious. Ada juga yang memang bermain sentimen keagamaan.  Berebut pemilih loyal menjadi ghaib satu sama lain. Ghaib karena hasil akhirnya yang tak simetris. Buktinya, petahana yang tumbang juga bisa kaget dengan dirinya sendiri tak terpilih.

 

Banyak orang sudah terbiasa, pemilu mahal dan banyak pakai politik uang sudah dihakimi dimaklumkan sebagai budaya. Kata kandidat: pemilih agamis atau bukan, menuntut uang untuk syarat pemilihan. Harus ada ulung-ulung. Harga biting memang tidak seperti bitingnya bungkus kacang. Tanpa ‘mbang gulo’ dianggap tidak akan dipilih. Tapi ada yang PD baliho saja sudah bisa terpilih di dprd dengan sedikit menjual idealism dan percaya diri. Kalau upaya ndak mau lakukan politik uang kira kira masyarakat pemilih akan bilang kok maunya gratisan, ndak punya uang kok nyaleg. “Mutasi DNA politik uang sejak 2009, kata seorang petahana yang kalah di pemilu 2024. Jadi 2024 pasti paling brutal dan rusak pemilu jika diceritakan sentralnya kekuatan uang. Legislative dan pilkada mana yang ngerih mobilsasi uangnya?” Lain ladang lain buayanya.

 

Para kandidat berduit besar dan siap jadi perlu kaki-kaki di bawah untuk menjadi distributor uang dan barang. Klientelisme dan patranose ini sangat kuat memikat serta menentukan. Tandem itu berwajah janus. Pisau bermata dua bisa iris sana iris sini. Dalam berebut suara bisa perang bansos, ancaman jika punya kuasa parpol, dan serangan politik uang. Ada pengakuan, beberapa kandidat tidak serius pakai uang akhirnya kalah dengan penyesalan. Kandidat dewan harus bertarung habis-habisan di saat yang sama bos-bos partai senang karena dengan begitu partai akan besar dan juga dapat dipasang tarif untuk pajak atau upeti kepada elite partai atau  kas partainya. Partai harus selamatkan diri dan juga. 

 

Normal ini juga ditandai dengan semakin profesionalnya bentuk-bentuk yang dulunya dianggap curang dan melanggar. Lapangan kerja dalam konsultan politik juga bukan soal subtansi gagasan kandidatnya tetapi bagaimana teknis pemenangan yang efektif dan efesien. Kasarannya, semua harus dihitung-hitung dengan akuntansi pemilu yang jelas harga dan angkanya. Istilah nomor piro wani piro atau NPWP dilaksanakan semakin canggih di pemilu 2024 yang dulu di 2014 masing serba setengah malu kini itu adalah kerja-kerja. Musim pemilu kepadatan caleg di RT dari kandidat DPRD. Satu RT bisa diserang 40 caleg dprd kabupaten. Kisaran harga 80-100K untuk Ide-ide mengurangi kerusakan pemilu dengan menekan biaya politik atau politik uang biasanya masih pelan-pelan diobrolkan dalam forum ilmiah atau setengah ilmiah: Pemilu langsung atau tertutup. Perangkat penyelenggara pemilu juga mustinya direformasi atau punya kekuatan moral yang paripurna—sehingga dapat dipercaya dan komitmen pada kejujuran dan akuntabilitas demokrasi.

 

Kapasitas kalah denga nisi tas. Banyak orang jadi dewan juga ndak paham harus menyelesiakan masalah apa dari mana dan bagaimana. Mahalnya jadi anggota dewan, membuat mereka tak perlu kerja kerja kerja apalagi idealis selama menjadi dewan. Kajian komprhensif diperlukan. Mungkin perlu pelibatan kelompok agama untuk turut menakut-nakuti dengan firman tuhan. Sayangnya, kelauan haram bisa jadi lama-lama dihalalkan. Ada banyak alas an politik uang halal: lebih baik orang baik main politik uang lalu jadi, dari pada orang jahat main politik uang lalu jadi.

Pengakuan demi pengakuan, kegagalan politik uang itu bisa lebih dari 50%. Tapi  itu biaya yang dimaklumkan gagal atau berhasil. Begal dan pemborong suara banyak bergentayangan. Itu hanyalah salah satu cerita kalau sedang berkumpul-kumpul seperti suara obrolan santai sejenis romantisme.  Budaya pragmatis, budaya koruptif, budaya money politik pada akhirnya setali tiga uang. Dan diam-diam kita aminkan saja entah dulu atau nanti di masa depan.

 

Tutup mata, tutup telinga, tutup Nurani dalam pasar bebas pemilu yang merusak dengan politik uang. Sama-sama ada kemauan politisi untuk jadi dan masyarakat yang juga ingin dapat berkah dari pemilu. Sama-sama mau dan lebih baik dalam kondisi ini adalah seperti musim semi yang sunyi senyap. Kalau udah senyap nanti ke bawah ke kantor legislatif eksekutif lalu kalau ada keluhan dan kritik dari masyarakat warga, bisa jadi senyap senyap saja terdengarnya.

 

Dan kabar baiknya, kita masih di negara yang sama di Wakanda.


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website