Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik - Persyarikatan Muhammadiyah

Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
.: Home > Artikel

Homepage

Agenda Mendesak Menghijaukan Al Ma’un

.: Home > Artikel > Lembaga
04 Oktober 2023 11:38 WIB
Dibaca: 139
Penulis : David Efendi

Dalam banyak hal Muhammadiyah telah berhasil membuktikan dirinya sebagai gerakan social-keagamaanyang bertransformasi menjadi gerakan kesejahteraan (welfare movement) baik dalam aspek material maupun immaterial, jasmani dan rohani. La raiba fiihi sehingga wajar juga Prof Roberth Hefner menggelari Muhammadiyah sebagai organisasi social paling behasil di dunia. Dalam kontek amal usaha, barangkali Muhamamdiyah tak tertandingi di dunia. Hal ini dapat dilacak dari berbagai macam artikel ilmiah yang mendiskusikan bagaimana Muhammadiyah memiliki karakter-karakter unggul dan berkembang di dalam bidang sosial, reformasi keagamaan, pendidikan islam, di dalam bidang kesehatan di dalam bidang pendidikan tinggi dan respon-respon yang dinamis menyangkut persoalan krisis misalnya kebencanaan dan pandemi.

 

Dalam hal-hal yang urgensi dan fundamental Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang sangat besar bahwa hasil pemikiran keagamaan itu harus dinamis meminjam istilah Majelis tarjih telah berhasil mengupayakan pendekatan bayani, burhani, dan Irfani sehingga Muhammadiyah senantiasa meletakkan dirinya sebagai sebuah gerakan ilmu berdiri untuk tegas mana wilayah yang harus dimurnikan (dipurifikasi) dan mana yang dinamis (didinamisasi). Dalam melawan rezim ‘covidiot’, kita ditunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan harus dipercaya dan dikoreksi sehingga nilai-nilainya memberikan maslahat bagi kehidupan, bagi keselamatan kemanusiaan, dan peradaban ekologis.

Dalam tulisan Ini saya hendak menyampaikan beberapa agenda penting, setidaknya menurut penulis, yang harus menjadi prioritas Muhammadiyah di abad kedua terutama berkaitan dengan problem politik partispatif yaitu serangkaian problem kekuatan-kekuatan partisipasi politik adiluhung, dan sebagai gerakan sosial advokatif serta terakhir dalam perwacanaan isu yang saya anggap sangat mendesak untuk mendapatkan respon progresif dari dari gerakan Muhammadiyah: krisis ekologi global. Krisis yang bukan hanya bersumber pada teknologi dan globalisasi atau perubahan iklim, tetapi dapat pula dialamatkan sebagai ekspresi krisis spiritualitas kaum agamawan.

Muhammadiyah punya tanggung jawab moral intelektual dan moral keagamaan dalam bebagai persoalan sehingga kehadirannya dituntut oleh keadaan, oleh ummat atau warganya. Banyak pihak berharap karena nalar kritis dan independensinya yang mendekati tipe ideal gerakan sosial atau kelompok civil society di dlaam menghadapi beragam goncangan sosial politik dan ekologi di Indonesia. Tentu saja, Muhammadiyah bukannya tanpa kelemahan dan membutuhkan kontribusi dari banyak agensi di internal maupun dari lingkungan external.

 

Tiga Agenda, Banyak Persoalan

Tulisan ini akan membahas tiga hal penting yang saya coba jelaskan dan sembari memberikan penawaran sudut pandang (insight). Pertama, Muhammadiyahs sebagai kekuatan politik. Di dalam gerakan mobilisasi kekuatan sosial-advokasi yang ada di Muhammadiyah dalam lima tahun terakhir ini saya melihat ada problem serius dalam ‘internal’ Muhammadiyah yaitu bagaimana dialog tentang batas-batas gerakan advokasi Muhammadiyah itu tidak menjadi wacana mainstream baik di level pimpinan pusat maupun di level grass root — terlebih karena adanya irisan jarak yang berbeda dengan kekuatan politik oligarki di kalangan aktifis Muhammadiyah. Dari pengamatan pendek saya, sebagian orang-orang tertentu yang memang ada atau yang berada di dalam rezim kekuasaan ada yang di dalam, menjaga jarak ada pula yang memang betul-betul dengan kesadaran organisatoris atau khitoh membangun garis demarkasi yang tegas antara rezim kekuasaan. Rezim hari ini banyak dinilai penuh dengan problem baik itu problem bawaan rezim pasar maupun problem-problem jebakan politik transaksional yang diidap oleh kekuasaan yang memang berangkat dari kekuatan non oligarkis. Di periode pertama kita melihat kepemimpinan Jokowi dianggap representasi non-oligarkis yaitu kekuatan yang kita anggap sebagai kekuatan koalisi yang dimotori oleh PDIP dengan kata lain kepresidenan Jokowi sehingga memunculkan banyak harapan bahwa agenda reformasi dapat dikawal. Batas-batas advokasi yang diupayakan Muhammadiyah ini dalam berbagai macam teori gerakan sosial memang harus dijaga namun demikian ada ketakutan di beberapa kalangan ‘kelas elite pemuda’ terpelajar di Muhammadiyah yang menghendaki ‘politik harmoni’. 

Tentu saja ini problematik di saat begitu banyak kenyataan yang tidak ideal bahkan anti demokrasi yang dipamerkan oleh rezim kekuasaan. Saking kerasnya, Prof Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah pernah mengatakan:

“Sekuat apa pun jihad konstitusi hasilnya akan hambar ketika berhadapan oligarki kekuasaan dan politik yang kering kesadaran cit-cita luhur.”

 

Netizen di twiter pun merespon sangat antusias akan kegerahan ketum Muhammadiyah di atas. Salahs satunya menuliskan: “Sekuat apapun oligarki, muhammadiyah tidak boleh berhenti berjihad konstitusi karena itu memang ladang dakwah yang wajib bagi Muhammadiyah. Masyarakat dan jamaah sangat berharap pada Muhammadiyah.” Muhammadiyah memang seringkali menimbulkan politik herapan ketimbang menebarkan politik ketakutan. Itu kekuatan sosial reformatif yang sangat pas dan sesuia zamannya.

Apa pasal, jika Muhammadiyah terlalu agresif di dalam mengatasi isu-isu publik maka Muhammadiyah dicap sebagai gerakan LSM sebagaimana pernyataan-pernyataan tidak beradab yang pernah didengungkan Muchtar Ngabalin sebagai bagian dari kekuasaan terhadap statemen Busyro Muqoddas yang membidangi hukum HAM dan politik ketika mengkritisi dan mengoreksi pengelola negara. Busyro disarankan Ngabalin aktif di LSM ketimbang di Muhammadiyah. Hal ini menunjukkan bahwa Muhamamdiyah dilarang punya karakter masyarakat sipil. Mencerabut karakter itu sama dengan menghendaki '’takdir' Muhammadiyah tak pernah ada di ruang politik.

Kedua, mencegat upaya depolitisasi terhadap [warga] Muhammadiyah. Hal ini sangat terkait dengan problem yang pertama yang saya sampaikan di atas tadi yaitu bahwa slowly but sure ada semacam kekuatan yang hendak mengupayakan ‘depolitisasi’ terhadap keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah yang tentu saja tidak terpisahkan dari ruang-ruang politik, ekosistem sosial-budaya dan juga isu-isu strategis berbangsa dan bernegara.

Hal ini dapat dilacak dari panduan Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan memang sudah sangat clear ditegaskan dalam berbagai macam risalah Muhammadiyah seperti PHIWM (panduan hidup islami keluarga warga Muhammadiyah), juga sada di dalam khitah organisasi yang dihasilkan dari permusyawaratan tinggi di Muhammadiyah. Menurut saya, mencoba mengupayakan depolitisasi Muhammadiyah seperti halnya orde baru yang kemudian menganggap Muhammadiyah sebagai masyarakat profesional masyarakat, pelayan masyarakat, wali agama,atau dipandang sebagai gerombolan warga negara yang konsen dalam isu-isu non politik seperti halnya juga pemerintah kolonial Belanda memperlakukan Muhamamdiyah saya kira hari ini sangatlah tidak relevan dan out of date.

Faktanya, di dalam persoalan demokratisasi yang semakin meluas, maraknya persoalan agresi oligarki yang begitu masif maka Muhammadiyah sejatinya adalah mengambil bagian dalam bentuk satu karakter politik yang bercirikan ‘politik kewargaan’ karena kalau politik kepartaian jelas tidak lazim di Muhammadiyah walaupun ada jalinan-jalinan itu yang menyejarah seperti halnya Amien Rais membentuk partai Amanat Nasional yang didukung oleh warga atau anggota Muhammadiyah, begitu juga Masyumi, PMB, dan partai Ummat. Di jalun moderasi, kita lihat bagaimana Syafii Maarif mempengaruhi karakter dalam relasinya dengan kelompok kelompok ormas Islam misalnya ormas keagamaan secara umum, maka sejatinya upaya dipolitisasi terhadap kekuatan Muhammadiyah sebagai kekuatan politik sebagaimana gagasan Kuntowijoyo Islam adalah tindakan yang ahistoris dan konyol.

Kekuatan politik Muhammadiyah itu bersifat organik lantaran Muhammadiyah punya aspirasi politik, punya ruang dakwah di bidang politik, punya keberpihakan pada nilai keadilan dan kebenaran, dan sebagainya maka dipolitisasi itu tertolak di Muhammadiyah. Gerakan Muhamamdiyah, tidak sekedar organisasi atau system admnistrasi, tidak bisa dijadikan sebuah proyek “silent majority” secara sistematik sehingga suara-suara kritis itu tetap akan muncul dan harus dimunculkan sebagai bagian dari tanggung jawab moral-intelektual, moral ekologi, dan moral ekonomi. Memang sungguh disayangkan ada beberapa actor politik yang berbasis afiliasi Muhamamdiyah yang berusaha menjaga harmoni Muhammadiyah dan kekuasaan negara yang bermasalah itu. Saat ramai RUU Ciptakerja atau omnibuslaw yang kontroversial di sata rakyat sibuk bertahan dari wabah kita lihat seperti ada media afiliasi Muhammadiyah yang ketuanya juga menjadi bagian dari pemerintah sehingga seringkali hanya memberitakan hal-hal yang berguna untuk menjaga kepentingan politisnya, atau Bahasa halusnya harmoni dengan pemerintah tetapi tidak mau memberitakan suara-suara kritis yang disampaikan oleh pimpinan Muhammadiyah atau organisasi-organisasi di bawah Muhammadiyah termasuk majelis dan lembaga. Kisahnya ini sebuah mentalitas yang sangat buruk. Bagaimana keterkaitan Muhammadiyah seharusnya menjadi corong (muadzin moral) dari Muhammadiyah namun justru menjadi corong bagi kekuasaan (buzzerp) yang tak segan-segan memframing atau melakukan counter opini sampai menyerang personal tokoh Muhammadiyah. Sebagai monument peringatan, seruan demokratis Muhammadiyah yang diwakili oleh Ketum PP Muhammadiyah penting untuk direnungkan dan direfleksikan untuk mengobati politik yang sakit di negeri ini:

“Sekali pemerintah dan DPR berkehendak, maka tak ada kekuatan apapun yang dapat mencegah dan menghentikannya. Dan mungkin suara Tuhan pun, tak akan didengar.” (Republika, 13/10/2020)

 

Itu adalah bentuk keberpihakan Muhammadiyah pada demokrasi yang tidak kecil. Konsistensi menyerukan keberpihakan pada masyarakat dan nilai-nilai demokrasi sudah teruji namun kerap kali perangkat operaisonalnya terhambat oleh ‘politik etis’ dan moral politik Muhammadiyah sehingga Muhammadiyah tidak mau memposisikan sebagai oposan membabi buta. Tugas Muhammadiyah masih sama dengan yang sudah-sudah: membantu negara dan menjadi muadzin serta meluruskan kiblat berbangsa — bukan menggulingkan kekuasaan sah.

 

Menghijaukan Al Maun

 

Ketiga, Politik Lingkungan baru Muhammadiyah. Saya kira, isu yang sangat serius yang ingin saya sampaikan sebagai agenda Muhammadiyah mensikapi kerusakan bumi di berbagai sudutnya adalah persoalan lingkungan yang ternyata tidak terpisahkan dari sistem ekonomi kapitalistik rezim oligarki, system politik elektoral Pemilukada yang mendasarkan pada praktek politik ijon atau transaksional yang ujungnya mengorbankan alam sebagai uang jasa politik. Saya ingin mengambil contoh bagaimana Muhammadiyah merespon persoalan lingkungan ini secara komprehensif yaitu tidak sekedar memandang persoalan lingkungan sebagai persoalan lingkungan an sich tetapi ini terkait dengan karakter rezim/ tipologi rezim kekuasaan tertentu. Semakin represif rezim dipraktikkan, maka semakin ekstraktif rezim tersebut akan menjadi.

Banyak risalah Muhammadiyah sejak 2000-an menunjukkan concern yang terus mengalami 'eskalasi'terkait lingkungan bahkan ada pengarusutamaan isu lingkungan dalam lembaga internal maupun kultural Muhammadiyah. spirit ekoteologi al Maun kian menonjol diperlihatkan oleh Kader Hijau Muhammadiyah dan ekosistem gerakan ortom. Menghijaukan al maun menjadi kian populer sebagai kontekstualisasi tafsir al Maun yang tak boleh beku oleh zaman. Jika periode awal al Maun lebih pada menolong kesengsaraan kaum pribumi akibat kemelaratan kolonialisme, lalu pertolongan pada kaum rentan dan minoritas sebagai praktik neo Al maun (Zakiyuddin Baidhowi, 2009), maka al maun hijau adalah pergerakan menolong kesengsaraan manusia dan alam yang disebabkan oleh penghancuran lingkungan secara sistemik oleh kekuatan besar baik negara maupun korporasi. Kemelaratan umum hari ini jelas dipicu oleh kerusakan lingkungan sehingga kebijakan dan mega proyek berdalih pembangunan perlu diperiksa dan dikoreksi ulang. 

Perjalanan proses politiknya berikutnya, menarik sekali ketika Muhammadiyah ada kesungguhan untuk membangun upaya dialogis walaupun pemerintah tidak menyambut itu secara demokratis yaitu bagaimana Muhammadiyah meminta dengan berbagai macam kajian agar presiden membatalkan atau membuat Perpu untuk menggagalkan atau menunda undang-undang omnibus Law atau RUU Ciptakerja yang akhirnya disahkan dengan mengundang banyak kurban demonstran dan peretasan. Muhamamdiyah juga kemudian aktif terlibat dalam diskursus menolak undang-undang Minerba, mewanakan keaidlan sumber daya dengan menggelar rembug nasional, dan yang terakhir menolak hasil TWK KPK yang menghina rasa keadilan dan kemanusiaan dan penuh siasat jahat pada agenda pemberantasan korupsi. Perminan kumuh politik yang didukung imperium buzzer politik tersebut bukan hanya terhubung dengan persoalan korupsi, KKN, dan demokrasi, tetapi juga pada ancaman pada kerusakan lingkungan yang maha hebat jika deforestasi itu dilegalkan, dilegitimasi secara politik formal. Kerugian lainnya adalah proses disengement kekuatan CSO dengan proses pengambilan keputusan politik. Kita patut bersukur hal itu sudah menjadi konsen di Muhammadiyah sejak pasca reformasi ini. Secara singkat, Muhammadiyah sedang on the way menghijaukan al-maun dengan semakin menguatnya pengetahuan ekologi menjadi dasar pengambilan keputusan di dalam merawat dan mengembangkan Muhammadiyah

Dengan hadirnya sebuah majelis Lingkungan hidup, majelis hukum HAM, LHKP, MDMC, MPM yang semuanya itu punya irisan dengan isu-isu lingkungan dan peran agama sehingga kiprah untuk menyelamatkan lingkungan adalah bagian dari gerakan “politik nilai”, meminjam istilah lain untuk menjadi kekuatan baru di luar partai politik yaitu kekuatan politik alternatif di Muhammadiyah. Memang menarik ketika mendorong cara cara berpolitik berbasis kewarganegaraan di luar teknik berpolitik ala partai politik walaupun Muhammadiyah bukan berarti tidak membangun komunikasi dengan partai politik. Muhammadiyah harus tetap inklusif dan kolaboratif kepada pihak lain selama untuk agenda kemaslahatan bangsa.

Muhammadiyah harus menyadari karakter gerakannya itu yang tidak bisa secara hitam-putih dipisahkan dari gerakan-gerakan sosial baik yang bercorak agama maupun yang bercorak LSM memang inilah konsekuensi wajah Muhammadiyah itu banyak mungkin wajahnya tidak politik praktis/poliitk dengan orientasi kekuasaan. mungkin wajahnya bukan wajah politik murahan atau politik rendahan tetapi harus dibentuk identitas berpolitik Muhammadiyah itu sebagai karakter berpolitik nilai atau berpolitik yang berkeadaban yang itu dapat saya sebut sebagai berpolitik tanpa partai politik praktis atau “berpolitik tidak praktis” meminjam bahasa Prof Haedar Nashir.

 

Catatan Penutup

 

Sebagai kesimpulan, ada beberapa rekomendasi untuk mewujudkan upaya agenda-agenda ketiga hal tersebut di atas yaitu; pertama bahwa Muhammadiyah penting menyadari bahwa Muhammadiyah dalam berdakwah di ranah politik harus terhubung dengan gerakan-gerakan sosial lainnya, karakter Muhammadiyah harus lebih inklusif lebih adaptif dan kolaboratif sehingga dampak yang diharapkan lebih sistematis dan massif mengingat tantangan yang dihadapi bangsa dalam bidang ekonomi politik sangat berat. Muhammadiyah tidak bsia sendirian menjadi gerakan pembantu harus pula difikirkan gerakan arus utama. Kedua, Muhammadiyah harus senantiasa menunjukkan kekuatan politiknya dengan terus-menerus menyuarakan aspirasi publik. Selalu terdepan bersuara ketika ada banyak hal yang harus dikoreksi dari problem tata kelola negara di saat yang sama juga harus mengapresiasi apa baik yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Dalam gerakan sosial ala CSO, koreksi-koreksi itu adalah sebuah tanggung jawab moral politik yang melekat di dalam Muhammadiyah sejak dulu hingga kini dan itu harus dipertahankan sekuat tenaga dan dengan daya kreatif dan advokatifnya di era ‘matinya academia’. Dan yang terakhir membangun paradigma Muhammadiyah yang lebih hijau. Hal ini dapat dimulai dari bagaimana cara Muhammadiyah menghijaukan teologi almaun. Bahwa al ma’un itu bukan hanya menyelamatkan kelompok yatim piatu, orang miskin, kelompok Marginal tetapi juga menyelamatkan lingkungan hidup (berbasis eko-teologi liberasi) yang itu juga apabila selalu dieksploitasi tanpa batas dengan dalih pertumbuhan ekonomi dan konservasi kapitalistik, tak bisa ditolak akan menjadi penyebab merebaknya kemiskinan baru, penyebab yatim piatu, penyebab kerusakan kerusakan moral spiritual yang berkelanjutan dengan resiko yang tidak terperikan.

Sekali lagi, harus diupayakan dengan penuh kesungguhan dan militansi untuk berdakwah di rana politik, advokasi, dan lingkungan hidup sebagai upaya mencegah keadaan lebih buruk di masa depan sehingga penulis usulkan tafsir-tafsir yang sangat dominan tentang rahmatan lil alamin di dalam risalah peradaban Muhammadiyah harus sedikit banyak mulai ditransformasikan menjadi sebuah gerakan rahmat bagi bumi dan membangun kosnepsi kewargaan Muhammadiyah adalah warga negara bumi (earth citizenship) sehingga penting untuk diperankan lebih kuat lagi di masa kini dan masa depan. Saya kira, dengan kekuatan teologi pembebasan al-Maun yang kian hijau, Muhammadiyah sangat siap menyambut babak baru peradaban ekologis. Wallahu ‘alam bi ashawab.

 


Tags: Muhammadiyah , AlMaunHijau , KHM , GreenDeen

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website